21

110 9 0
                                    

"Biar lo nggak sakit, gue nggak mau lo sakit." Adikara tersenyum lagi, lalu mereka berdua melangkah bersama. Menuju pelaminan. Salah deng keduanya melangkah menuju mobil Adikara yang terparkir manis.
Adikara membukakan pintu Mara lalu tersenyum, mengitari mobil kemudian duduk di kursi kemudi.
"Gue tadi ke kelas lo, tapi keknya rame banget," Adikara mulai memutar kemudinya. Mara tersenyum, teringat kenangan yang kelak akan mereka rindukan.
"Iya, konser," jawab Mara singkat membuat Adikara terkekeh. Ah masa SMA memang mengasyikkan, walau sering kali tertimbun banyak tugas.
"Seru ya SMA?" Mara hanya mengangguk sebagai jawaban, "sayang banget, gue masih nyaman padahal di SMA," Mara menolehkan kepala. Ah Adikara, pria itu pandai membuat suasana melow.
"Mau lanjut dimana Kak?" tanya Mara dengan penuh minat, ah gadis itu lupa akan masalahnya dengan Adikara. Mara tak akan bisa marah lebih lama lagi.
Adikara mengendikkan bahu, lalu mengacak rambut Mara, "Lo liat aja nanti, gue minta lo tetep disini, disamping gue, nemenin gue dari awal," Mara hanya mengangguk-angguk singkat tanpa berminat membahas lagi, "gue minta doa lo," Mara tersenyum lagi.
Tangan Adikara yang bebas bergerak menggenggam tangan Mara, lalu dibawanya tangan itu di depan dadanya. Mara merasakan deguban kencang jantung Adikara. Pria itu tersenyum serasa menatap lurus jalan raya.
"Lo tau kan? Jantung gue selalu bekerja lebih keras kalau kita deketan kek gini," ujar pria itu seraya menatap singkat Asmaraloka, "lo disini aja sama gue. Kalau ada kabar yang miring tentang gue, lo konfirmasi dulu sama gue. Gue tau banyak banget yang nggak suka lo gegara lo deketan sama gue, maaf." Jelas Adikara yang kini mengecup tangan Mara berkali-kali.
Ya, perawan mana coba yang nggak melting pas digituin?
Oh hell! Adikara berhasil membuat Mara terpaku, terpesona, dan menyadari ketampanan Adikara yang sangat di atas rata-rata.
Mungkin kulit Adikara tidaklah seputih itu, sawo matang, tapi kulitnya bersih. Hidungnya bak perongsotan anak PAUD, lalu matanya seperti elang yang ingin menerjang mangsanya. Ada kalanya juga mata itu sayu, sangat meneduhkan. Adikara juga tinggi, Mara hanya mencapai dagunya, padahal tinggi Mara 165 cm lalu potongan rambut Adikara seperti kebanyakan anak SMA, keren.
"Maaf gue emang bukan yang terbaik buat lo, gue cemburuan, gue egois. But, percayalah gue nggak pernah mainin lo, gue nggak bisa nyakitin lo," pandangan Adikara kini sayu, mampu membuat hati Mara teduh.
"Gue--"
"Gue juga bukan yang terbaik untuk lo Kak. Nggak tau kenapa lo bisa milih gue yang jelas-jelas burik, gue nggak seperti mantan-mantan lo. Gue kira lo udah katarak sekarang," celetuk Mara membuat Adikara hampir menyemburkan tawanya, "JANGAN KETAWA!" Tekan Mara dengan nada sok serius.
Bukannya takut dengan ancaman Asmaraloka Adikara justru tertawa terbahak-bahak.
"Apaan sih lo Kak?!" Adikara langsung diam, tapi wajah lelaki itu masih menampakkan wajah tahan tawa.
"Gue itu bagaikan remahan biskuit Kak, sedangkan lo itu biskuit yang ada di kalengnya." Adikara masih berpikir keras dengan perumpamaan yang dilontarkan Mara, "etdah, kan sama aja yak. Ah gue mah gitu, suka ngaco, tau ah gapaham gue, " tak lama semburan tawa keduanya terdengar. Asmaraloka sepolos itu, dia nyeletuk juga seenaknya.
Tak lama, mereka sampai di rumah Asmaraloka. Adikara sendiri langsung pamit, dia kembali ke rumah. Siapa tau kedua orangtuanya datang kan?
+++
"MARA BANGUN ASTAGFIRULLAH ANAK GADIS JAM SEGINI TIDUR!!!" teriakan Ibu Mara terdengar sangat nyaring. Mara baru saja selesai salat ashar lalu mandi, kemudian naik ke ranjang eh Ya Allah bahasanya ranjang banget nih? Oke ralat maksudnya naik ke kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Full day school tidak seenak itu ferguso!
"IYA BU UDAH SALAT UDAH MANDI, AKU TIDUR DULU, ENTAR MALEM NUGAS!" pekik Mara balik. Kemudian kembali memejamkan mata.
"HEH KAMU SOK-SOKAN NGGAK MAKAN, PADAHAL MAKAN SEHARI SEKALI AJA AUTO SAKIT. AYO BANGUN, MAKAN!!!" Mara mendesah malas. Ah dia hanya ingin tidur, tau sendirikan nikmat rebahan itu gimana?
Dengan langkah gontai Mara menuju Ibunya, disana Ibunya sudah siap dengan sepiring nasi beserta lauknya.
Mara duduk di kursi keluarga, lalu memejamkan mata. Mara merasakan kursi empuk itu sedikit bergerak.
"Ayo, buka mulut!" titah Ibu Mara kemudian dengan nurut Mara membuka mulutnya. Nasi beserta teman-temannya sudah berada di mulut Mara. Nikmatnya. Emang sendok paling da bes adalah tangan emak!
"Kamu itu kalau melek jangan malam-malam udah tau kan kamu itu kalau kecapekan, telat makan typusnya kumat, kamu sih!" mari kita dengarkan ceramah kali ini ya!
"Kalau nugas itu mbok ya inget waktu kalau waktunya makan ya makan jangan yang penting tugas selesai. Boleh lah ambisi, tapi inget dunia nggak bakalan sepenuhnya nerima orang penyakitan walaupun dia pinter. Pinter boleh, sangat boleh tapi kesehatan harus dijaga." Mara membuka mulutnya lagi, lalu bergelayut di lengan Ibunya, "nggak ada orang bodo, yang ada orang males. Kalau males asalkan dibiasakan belajar entar juga rajin kok, terus pinter deh. Kalau sakit? Sehat itu mahal Ra!" jelas Ibunya lagi.
Suapan terakhir, "Dah habis, bentar minumnya!" kemudian Ibunya datang dengan minuman berwarna merah kecokelatan.
"Minum, ini rempah-rempah plus gula merah, biar badan kamu tetep vit," Mara menurut saja. Meminum minuman itu sampai tandas. Lalu ia merasakan tenggorokannya hangat, ah nikmat sekali.
"Nanti malem melek sampek jam berapa? Perlu ditemenin?" tawar Ibunya kini, Mara menggeleng, "Yang pinter ya! Kamu bisa!" itu kata-kata rutin yang diucapkan sang Ibunda. Mara tersenyum, mengangguk, kemudian memeluk Ibunya.
+++
Paginya seperti biasa Mara bangun pagi-pagi. Dia kali ini akan berangkat bersama Sang Ibunda. Mara sudah selesai sarapan jam setengah 6 pagi, kemudian berangkat ke sekolah tepat jam 6. Sudah ramai. Memang, sekolah Mara masuk pukul 06.30 .
"MARA!!!!!" pekikan itu Mara hafal siapa pelakunya. Mekka. Juga Ratih tentunya. Ratih dengan mode slownya, dan Mekka dengan hebohnya. Hum, ada Keira juga di belakang mereka.
"Apaan sih berisik banget," protes Mara membuat Keira memutar bola mata. Ah pasti gadis itu iri, Keira tidak mempunyai sahabat.
"Kek gue doang pendiam," kata Mara dengan bangganya. Mekka mendelik kesal. Dia menonyor kepala Mara.
"Setdah, anak siapa sih ini! Ini kepala gue udah di fitrahin Allahu, anak setan apa yak?!!" Mara sekarang menarik sebuah rambut Mekka.
"Eh Maemunah, sakit geblek. Mikir dong, otaknya dibuat ngebucin mulu sih," ujar Mekka membuat Ratih geleng-geleng kepala, "Paan dah si Ratih geleng-geleng mulu, sakit kepala apa lagi nari lo sih?!" gemas Mekka melihat Ratih yang super duper slow.
"Ah Ratih mah anteng, diem. Kek gue, nggak kek lo!" ucap Mara bangga.
"Hiyeeek apa lo bilang? Lo anteng diem? Halah lo aja Om-om mabuk diomelin, itu yang lo maksud diem?!" Prabu datang dari belakang mereka.

PLAAAKK!!!

Lengan Prabu sudah menjadi tempat mendarat Totebag Mara yang isinya beberapa buku paket.
"Ah elah lo katanya kalem gimana sih, Mara?! Ini yang dimaksud kalem?! Gila lo, macem Singa betina aja," ujar Prabu seraya mengelus lengannya yang kebas.
"MELEK!!!!" panggil Mara pada Malik yang melintas di depan mereka. Malik alias Melek berhenti, dia terlihat kebingungan.
Mara, Prabu, Mekka, dan Ratih menghampirinya.
"Gue titip ya, ini Jin satu terserah lo deh mau lo buang dimana, yang jelas bawa jauh-jauh dari gue. Entar gue ketularan gilanya dia lagi," ucap Mara seraya mendorong Prabu mendekat ke Malik. Malik mengangguk, lalu bergerak mengapit lengan Prabu.
"Woy lo samain gue sama Jin?! Ah elah dasar Monster Alaska!!!" Pekik Prabu yang kini sudah menjauh darinya.
"Lo semakin hari semakin nggak waras Ra," itu Ratih yang ngomong.
+++
Istirahatnya seperti istirahat mereka biasanya, X-2 memang membawa bekal. Semua, laki perempuan membawa bekal semua. Yang laki-laki duduk ndelosor di bawah, sedangkan yang perempuan duduk di kursi membentuk beberapa kelompok.
"WOY BAGI SAMBEL!" pekik Si Tikus alias Derry, Hanny berdecak.
"Berisik lo, Kus!" kata Hanny yang paling tak bisa diganggu ketika makan.
"Jod, bagi sambel dong!" kini Derry mendekat ke arah Joddy, Joddy mendongak memicing menatap Derry.
"NGGAK!" tekan Joddy, sudah dibilang kan Joddy itu maniak makan.
Nada beranjak dari duduknya, kemudian berjalan ke arah kotak makan Derry. Berjongkok, kemudian menaruh sesuatu di dalam sana, "Udah tuh, gue gak suka sambel." ujar Nada tenang.
Seketika kelas hening, tidak ada yang angkat suara.
Mara terbatuk-batuk, begitu juga Mekka.
"ACIEEEEE," koor sekelas kompak.
"Apaan lo?!" kata Derry sok galak, padahal wajahnya kini mirip kepiting rebus. Merah.
"Ahelah akhirnya kelas kita ada couple ya?!"
"Cocuit deh, entar kapanpun bebas ngapel tuh,"
"Meleleh abang, dek."
"Gue mau dong!!!"
Nada memutar bola matanya jengah, kelasnya selalu gini. Mereka nggak waras semua.
"APA LO SEMUA IRI?" pekik Nada justru membuat semakin menjadi-jadi.
"Galak amat dek, Abang jadi takut."
"Mbak Nada galak untuk melindungi Kangmas Derry seorang kok,"
"Adyuuhhh! Ceweknya kiyod banget sih,"
"Anjay jinjay astaga, gue mau!"
"LO PADA NGOMONG LAGI, GUE SUMPEL MULUT LO SEMUA PAKAI INI SAMBEL!" Ancam Nada yang sekarang ingin tertawa. Ah ini semua menggelikan.
"AISH ABANG TAKUT DEK!" itu Prabu, pria terngeselin di kelas ini. Mara memutar badannya bergerak mencari Prabu. Lalu menaik-turunkan sebelah alisnya kepada Mekka, Mekka menangkap sinyal itu.
Prabu menyadari keheningan yang terjadi, lalu mendongak. Seluruh penghuni kelas kini tengah menatapnya.
"APA?!" tanya Prabu songong kepada mereka semua.
"Waaah parah Nad, minta tuh Nad!" kompor Mara kini sedang meletup-letup.
"Nantangin dia Nad, dikira lo kaleng-kaleng apa?!" itu Mekka yang kini bergerak mengemasi kotak makannya yang telah kosong.
"Kalau gue jadi lo nih ya Nad, gue lakuin ancaman gue tadi," Joddy kini bergabung ikut membuat Prabu terpojok.
"Bangsat kalian!" gumam Prabu seraya menatap takut-takut ke arah Nada.
Prabu nyengir kuda, "Eh Nada, cantik banget sih," kata Prabu seraya senyum-senyum.
"Gue cewek makanya gue cantik," kata Nada datar.
Ah mati sudah, dangerous!
"PRABUUUU SINI LO!!!"

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang