27

62 7 0
                                    

Happy reading xoxo!

***

Sontak Adikara bangkit lalu berjalan mendekat menuju seorang berjas putih itu, "Bagaimana keadaan dia, Dok?" pertanyaan Adikara terjadi berbarengan dengan tiga pasang kaki yang tergopoh-gopoh. Seorang perempuan diantara mereka masih bingung apa yang terjadi, mengapa sampai di rumah sakit?

Tangan Ranu terkepal, matanya memerah menahan amarah, rahang-rahangnya mengetat. Menakutkan. Dia berusaha sebisa mungkin menahan amarah guna mempertahankan suasana tetap kondusif.

"Bisa bicara sebentar di ruangan saya?" sang dokter angkat suara. Pak Dady mengangguk ragu lalu melangkah. Kedua pria paruh baya itu meninggalkan Bu Imah, Ranu, dan Adikara yang mematung.

Ranu masih menatap Adikara nyalang. Dia menduga kecelakaan ini disebabkan pria di depannya itu. Terlihat dari bekas darah yang ada di baju seragamnya.

"Ini sebenarnya ada apa?" tanya Bu Imah yang dijawab Ranu hanya elusan pada punggung wanit paruh baya itu. Bu Imah menepis tangan Ranu, lalu netra itu beralih pada Adikara.

"Asmaraloka mana? Bukannya dia sama Nak Adikara?" cecar Bu Imah membuat Adikara tertunduk dia juga enggan menjawab. Lelaki itu lebih memilih menatap tembok putih tempat ayah Mara menghilang bersama dokter.

+++

Nona Asmaraloka mengalami benturan keras di kepalanya, yang mengakibatkan ada pendarahan di kepalanya. Kalau tidak segera dioperasi akibatnya bisa fatal, terburuknya adalah kematian....

Kalau tidak segera dioperasi akibatnya bisa fatal, terburuknya adalah kematian...

Terburuknya adalah kematian...

Perkataan dokter itu masih terngiang di memori Pak Dady, setelahnya ia tanpa pikir panjang menandatangani surat pernyataan. Dia tak lagi memerdulikan resiko, yang penting sudah dilakukan yang terbaik.

Tatapan mata lelaki paruh baya itu kosong, seiring dengan langkah kakinya yang mendekati tiga orang yang terduduk dengan salah seorang dari mereka yang masih kebingungan.

Adikara lah yang terlebih dahulu menyadari kehadiran Pak Dady, dengan langkah tergopoh-gopoh, pria remaja itu melangkah menghampiri Pak Dady. Menuntunnya sampai duduk dengan.

"Pak sebenarnya ini ada apa sih? Asmaraloka mana?" tanya Bu Imah yang tak kunjung dijawab Pak Dady, lelaki itu masih diam, "ini semua pada kenapa sih? Jangan diam mulu dong, ini Asmaraloka dimana?" cecar Bu Imah, kini wanita itu bergerak menghampiri Adikara yang bersandar di tembok rumah sakit.

"Nak Adikara, bukannya tadi Nak Adikara sama Asmaraloka ya? sekarang dianya dimana?" tanya Bu Imah lagi. Adikara hanya menghembuskan napas panjang, lalu menatap Ibunda Asmaraloka dengan sendu. Bahkan mata pria itu kini sudah berkaca-kaca.

Perlahan, netra Adikara berpindah menuju pintu kaca itu. Bu Imah masih tak mengerti maksud pandangan Adikara yang tiba-tiba beralih, dia tak menganggap itu jawabannya.

"Asmaraloka harus dioperasi," tiga kata dari Pak Dady membuat semua menatapnya tak percaya. Tak berselang lama, brankar itu yang dihuni seorang gadis berambut pendek keluar. Membuat semuanya membelalakkan mata tak percaya.

"Nggak mungkin!" rancau Bu Imah ketika melihat putrinya terbaring dengan beberapa alat pembantu seperti infus, oksigen, dan lain-lain. Bahkan wanita paruh baya itu kini menatap nyalang langkah kakinya menyejajarkan dengan laju brankar yang kini semakin masuk ke dalam rumah sakit.

Air mata wanita itu bercucuran, "Mara stop! Kalau ini cuman prank, ini nggak lucu!" ujar Bu Imah seraya menatap anak gadisnya yang memejamkan mata. Padahal, pagi tadi dia masih melihat senyum ceria putrinya itu.

"Mara bangun! Udah kamu berhasil buat Ibuk nangis," Bu Imah kini sudah terisak. Siapa yang tega melihat buah hatinya terbaring seperti itu?

"Mara! Kamu kalau ngeprank gausah kek gini, kamu kebanyakan nonton youtube!" cecar wanita itu masih menolak percaya.

Sampai mereka harus berpisah karena pihak keluarga tak diizinkan masuk. Adikara terduduk lemas di tembok rumah sakit. Lelaki itu dihinggapi rasa bersalah yang amat besar. Dia merasa gagal tak bisa menjaga sang kekasih hati.

"Pak itu tadi bukan Mara kan Pak? Ibu cuman salah lihat kan Pak?" Bu Imah angkat suara nadanya terdengar bergetar. Wanita itu bersandar apa sang suami, Pak Dady sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh.

Lelaki paruh baya itu menggumamkan kata "Sudah yang sabar"

Namun percuma, kata-kata itu tak mengurangi tangis Bu Imah,"Tadi pagi dia masih ketawa-ketawa, Pak. Mana mungkin itu yang di dalam dia, dia sekarang pasti masih di sekolah, buruan ih kalian jemput dia!" ujar Bu Imah terdengar ironis di telinga Adikara.

Pria itu tertunduk, meresapi kesedihannya. Pikirannya terus berputar, bagaimana kronologi semua ini?
Sebelum sebuah tangan kekar mengangkat kerahnya, seakan bersiap mencekiknya.

Ranu, pria itu berdiri bak orang kesetanan. Mataya merah siap mengeluarkan amarah, rahangnya mengetat, dan sekarang.

BUGHH!!

Sebuah tinju mendarat di pipi Adikara. Sayangnya Adikara bergeming, dia rasa dia pantas menerima semua ini. Dia pantas dihajar abis-habisan karena ia tak bisa menjaga Mara dengan benar.

"LO APAIN ADIK GUE HA??!! JANGAN MENTANG-MENTANG LO TAJIR LO BISA NYELAKAIN ADIK GUE YA! GUE JUGA BISA LAWAN LO GUE GAK TAKUT!" teriak Ranu tepat di depan wajah Adikara. Adikara memejamkan mata saat melihat tangan Ranu yang terkepal bersiap menerjangnya lagi.

Namun, dia tak meraskan tinjuan lagi. Dia memberanikan membuka mata, disana berdiri Pak Dady yag menahan kepalan tangan Ranu. Rahang pria paruh baya itu juga mengetat.

"Bapak nggak pernah ngajarin kamu arogan," kalimat itu diucapkan dengan dipenuhi penekanan. Ranu membabaskan tangannya dari cengkraman sang Ayah, lalu membuang napas kasar.

"Pasti dia yang bikin Adik kek gini Pak, sadar dong!" gemas Ranu membuat Adikara mengalihkan pandangan menuju Pak Dady.

Pak Dady terdiam, Adikara kini sudah meluncurkan air matanya. Bukan air mata buaya. Nyatanya, hatinya ikut sakit melihat Asmaraloka terbaring tak berdaya, tambah-tambah dia dituduh sebagai penyebab semua ini.

Adikara pikir mungkin dia penyebabnya, kalau dia tak bertengkar dengan Asmarloka, pasti dia akan menunggu Asmaraloka sampai dijemput. Ah, Adikara sangat menyalahkan dirinya sendiri.

"Kamu nggak bisa ngejudge orang sebelum ada bukti,"

"Nyatanya Ranu denger sendiri, Pak!" jawaban refleks dari Ranu setelah mendengar perkataan sang ayah, "pas Ranu jemput Mara udah ga ada disana. Ranu tanya seorang siswi disana tapi mereka bilang coba tanya sama lelaki lemah itu! Dia bilang suruh tanya Bang Adikara, gitu apa nggak cukup bikin Bapak percaya kalau dia yang nyelakain Mar—"

"Kamu diam! Kamu sedang emosi, gausah ngomong Bapak juga pusing!" bentak Pak Dady pada anak lelakinya itu. Bu Imah semakin terisak mendengarkan keributan itu.

Tatapan Pak Dady beralih pada Adikara, "Lebih baik Nak Adikara pulang!"

+++

Adikara tetap terduduk disana. Di sebuah tiang dengan mata memejam. Jaraknya sedikit jauh dari tempat Bu Imah, Pak Dady, dan Ranu berada. Pak Dady sudah menyuruhnya pulang, tetapi dia ngotot untuk menunggu Mara sampai siuman atau minimal setelah selesai operasi. Lalu mereka beranjak setelah melihat pria berpakaian operasi itu muncul dari ruangan dengan cahaya yang terang itu.

Adikara ingin mendekat, namun urung setelah mendapat tatapan Ranu yang seakan ingin mengulitinya sekarang juga. Adikara mengambil jarak tetapi ia pastikan bisa mendengar percakapan dengan dokter itu.

"Operasinya berjalan lancar," ucapan sang dokter membuat keempat orang itu mengucapkan hamdalah bersama-sama, "tapi kemungkinan pasien mengalami koma. Dalam medis kasus seperti ini dinamakan Minimally Responsive State. Itu semua terjadi karena di otak pasien mengalami cidera yang ternyata cukup serius, ditambah lagi pendarahan yang juga terjadi. Tapi itu semua baru dugaan, semuanya kembali ke Tuhan. Berdoa saja Buk, Pak untuk yang terbaik. Semoga dugaan itu salah dan Asmaraloka segera pulih,"

**
Holla! Long time no see, gapapa gak ditungguin(atau kalau ada yang nungguin sorry) aku sedikit sibuk dengan tugas utamaku, purple U xoxo! Maaf untuk kesalahan istilah, kata atau typo ya!

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang