33

36 4 1
                                    

Asmaraloka dan Adikara sekarang tengah duduk di sebuah taman. Tadi sore, Adikara lah yang menjemput Asmaraloka. Ya, pastilah banyak tatapan yang mengarah ke Adikara ketika ia menjemput Asmaraloka ditambah lagi bisik-bisik yang mengungkapkan interaksi Asmaraloka dan Adikara terlihat berbeda.

"Bang Dika boleh tanya gak?" Adikara hanya tersenyum seraya mengangguk menanggapi pertanyaan Asmaraloka, lalu Asmaraloka berdehem sejenak.

"Kenapa tadi anak-anak lihatnya gitu banget ya Bang? Bang Dika alumni SMA gue? Perasaan bukan deh," senyum Adikara mendadak luntur, kalau Asmaraloka tidak hilang ingatan pasti menyenangkan, atau...justru menyulitkan?

"Hah? Iya gue alumni sana," Adikara akan jujur sekarang. Mungkin dengan kejujurannya yang tidak menutup-nutupi akan memudahkan Mara memulihkan ingatannya yang hilang.

Asmaraloka mengernyitkan dahi, apakah dia jajaran anak kudet yang tidak mengenal Adikara? Dia memaksakan memorinya berputar sampai akhirnya.

"Argghh!!" pekik Asmaraloka seraya memegang kepalanya. Demi apapun kini kepalanya sakit.

"Lo gapapa kan?" tanya Adikara yang kini membungkuk dengan raut wajah khawatir. Sungguh, Adikara takut kehilangan Asmaraloka, dia sangat takut Asmaraloka akan pergi meninggalkan dia sendiri. Cukup setahun kemarin dia merasa sendiri dia tak akan membiarkan Asmaraloka pergi.

Asmaraloka yang memejamkan mata sontak membuka mata, netra sipit itu terkunci pada netra hitam nan tajam di depannya, mata Adikara. Mata yang menyiratkan kerinduan, mata yang menyiratkan ketakutan, serta mata yang menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.

Asmaraloka bisa membaca arti sorot mata itu, tapi dia rasa itu bukan untuknya. Maksudnya, mungkin untuknya, Adikara mungkin khawatir ia akan kenapa-napa dan takut bila terjadi sesuatu dengannya, Adikara akan kena semprot Ranu. Tapi untuk sorot kerinduan? Ah Mara pasti salah lihat. Begitu pikir gadis itu.

"Apanya yang sakit?" tanya Adikara lagi, nada suaranya lebih lembut dan menimbulkan kesan sangat tulus. Bahkan tangan besar Adikara kini ikut memegang kepala Mara.

"Duduk dulu, Dek. Jangan berdiri, nanti tambah pusing," jujur saja sejak awal Mara merasa ada sesuatu yang mengganjal dengan Adikara, sayangnya dia tak ingat apa itu. Dia merasa dekat sekali dengan Adikara. Bahkan perasaan nyaman menyelimutinya, seperti sekarang ini.

"Masih sakit?" kali ini Asmaraloka menjawab dengan gelengan. Adikara menghembuskan napas lega, sungguh jantungnya seperti mendadak berhenti ketika melihat Asmaraloka hampir limbung tadi. Cukup sekali baginya melihat Asmaraloka terpejam dan kesakitan.

"Gausah dipaksain mikir berat-berat dulu lah entar kepala lo sakit," ujar Adikara diiringi senyuman. Asmaraloka terpaku, senyum Adikara seperti familiar sekali.

Terlepas dari itu, senyum Adikara...

Sangat mempersona.

Asmaraloka hanya menggeleng ketika menyadari matanya yang mendapat pemandangan indah.

"Lo tatap terus juga gapapa kok," gumam Adikara yang maih sayup-sayup di dengar Asmaraloka.

"Gimana Bang?" Asmaraloka membuat Adikara gelagapan, padahal dia pikir ucapannya sudah tidak akan terdengar oleh Asmaraloka. Namun buktinya? Asmaraloka mungkin mendengar, hanya saja kurang jelas.

Adikara menggeleng sebagai jawaban.

"Pulang?" tawar Adikara yang diangguki Asmaraloka. Hari telah beranjak malam. Sebaiknya memang dia pulang, lagi pula Adikara pasti ada urusan lain.

Adikara hanyalah teman kakak lelakinya yang keluarga mereka kebetulan akrab.

Kalimat itulah yang terpatri di benak Asmaraloka.

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang