***
"Gue nggak mau lo terluka. Gue bakalan perlakuin lo kek wanita paling berharga. Gue bakalan lindungin lo semampu gue," ujar Adikara.
Mara hanya terdiam, terpaku, lalu berusaha menatap mata tajam itu. Gadis itu belum pernah pacaran, tentu saja belum pernah seorang pun lelaki yang menyatakan itu.
"Gue serius," ujar lelaki itu seraya menggenggam tangan Mara, "jangan terluka lagi ya, Sayang." ujar Adikara lalu menggandeng Mara menuju kantin.
Di kantin, tentu keduanya menjadi pusat perhatian.
"Cih upik abu coba deket sama pangeran,"
"Kak Dika kelilipan kali ya bisa mau sama Mara,"
"Gila sih, Mara cantikkan gue juga,"
Dan masih banyak lagi cicitan-cicitan yang menurut Mara tidak penting. Jujur saja, dia juga sedikit insecure dengan posisinya saat ini. Dia siapa, Dika itu siapa. Dia menghentikan langkahnya, Dika sedikit tertarik ke belakang. Lelaki itu berbalik menatap Mara, memandang gadis itu dengan tatapan bertanya.
"Hum, gue mau kesana Kak," ujar Mara pelan seraya menunjuk ke kantin paling ujung. Adikara hanya menjawab dengan 'Oh' singkat. Lelaki itu tetap menggandeng Mara menuju kantin yang tadi ditunjuk oleh Mara.
Mara kembali menghentikan langkahnya, "Maksud gue, gue kesana sendiri. Kak Dika bisa kemanapun yang lo mau," cicit Mara kini dihadiahi tatapan tajam Adikara, "gue nggak enak ditatapin gitu," Mara angkat suara lagi.
Adikara menghembuskan napas berat, kemudian merangkul bahu Mara, "Lo nggak usah dengerin mereka ya, mereka iri sama lo," ujar Adikara pelan lalu tetap merangkul Mara menuju kantin yang ditunjuk Mara tadi.
"BUK SOTO DUA YA SAMA ES TEH!" teriak Adikara untuk memesan makanan. Mereka duduk di satu meja kantin, berhadapan. Mara sudah asyik dengan pikirannya lalu Adikara yang sibuk dengan ponselnya.
"Mara tuh cuman beruntung,"
"Ketiban durian itu si Mara,"
"Ketiban durian sakit kali," gumam Mara menanggapi desas-desus pengunjung kantin. Adikara sadar Mara ia acuhkan, kemudian meletakkan ponselnya.
"Lo nggak mau tau setelah lulus gue mau lanjut kemana?" tanya Adikara coba mencairkan suasana.
Pesanan mereka datang, Mara terbiasa berdoa sebelum makan.
"Itu urusan lo, Kak. Gue mah apa," Adikara hampir tersedak ketika Mara mengucapkan itu. Mata elang itu menatap tajam Mara, nyali Mara menciut.
"Lo apa? Lo pacar gue lah!" ujar Adikara sedikit menekan kata Pacar.
Mara menunduk, dia baru menyadari bentang sosial dia dan Adikara sangat terlihat.
Keduanya makan dalam diam, Mara masih dengan tenangnya makan dengan cepat. Tak kalah, Adikara juga melahap Soto itu dengan cepat.
"Lo makannya cepet ya? Lucu deh," Adikara mengacak rambut Mara. Mara hanya menegang mematung akibat sikap spontan Adikara.
"Do'ain, mulai besok gue merjuangin masa depan gue," ujar Adikara lagi. Jika dengannya, Mara banyak diam. Mungkin masih canggung, secara mereka kan dekat secara tiba-tiba.
"InsyaAllah," ujar Mara diiringi senyuman khasnya.
"Kalau gue ngilang tiba-tiba lo gimana?" Mara mematung menanggapi pertanyaan Adikara. Kenapa pertanyaannya sedikit, menyeramkan? Mara masih berpikir. Ini pertanyaannya jebakan atau bukan? Kalau dia jawab akankah posisinya jadi serba salah?
"Bakalan gue cari," Adikara hanya menjawab deheman singkat.
Mara ingin mengajukan pertanyaan juga pada Adikara, "Kalau gue yang ngilang, nggak bisa lo cari, lo gimana Kak?" Adikara sedikit mematung mendengar pertanyaan yang tadi ia lontarkan, "lo bakalan cari pengganti kan?" cecar Asmaraloka lagi.
Adikara menghembuskan napas, "Gue bakalan cari lo sebisa gue, semampu gue. Kalaupun lo tetep nggak ketemu, gue bakalan minta sama Allah untuk selalu lindungin lo," mata tajam Adikara tetap mengunci mata sipit Mara.Gadis itu tersenyum teduh, sangat membuat Adikara tenang.
"Gue tersanjung bisa lo gituin," ucap Mara seraya mengambil tangan Adikara. Adikara tersenyum, senyum yang mampu meluluhkan hati kaum hawa.
Tatapan tajam itu begitu menusuk mata Mara dalam, "Gue nggak mau denger lo merendah hanya masalah dunia. Gue suka sama lo bukan karena materi," ujar Adikara seraya menggenggam tangan Mara.
+++
Bel pulang berbunyi, seluruh siswa SMA tempat Mara menimba ilmu berhamburan keluar. Termasuk Mara.
Sering ponselnya menghentikan langkah Mara, gadis itu menepi sejenak setelah berjalan di tengah keramaian. Tertera nama 'Kak Adikara' disana.
"Hallo,"
"Ra, lo dimana? Udah pulang?" cerocos Adikara belum menjawab 'Hallo' dari Mara.
"Di deket gerbang, ini mau pulang."
"Lo dijemput siapa?"
"Bapak, udah di depan."
"Oh syukur deh, maaf Ra gue nggak bisa nganter lo. Gue masih ada pelajaran tambahan."
"Iya gapapa, semangat!"
"Lo juga hati-hati ya!"
Pip! Sambungan terputus Mara menghembuskan napas. Problematika menjalin hubungan mulai ia rasakan.
Langkah jenjang itu kembali melangkah, lalu menuju sebuah motor butut yang sudah menunggunya. Dia mencium tangan lelaki paruh baya itu, lalu tersenyum.
"Maaf Pak, tadi lama ya?" tanya gadis itu seraya menaiki motor butut itu.
"Enggak kok, masih lamaan sekolah kamu," kata pria paruh baya itu dengan lembut.
Motor butut itu melaju, membelah jalan raya yang ramai, berjalan melewati gedung-gedung tinggi yang saling berkejaran. Ya, gadis itu bahagia, walau keluarganya tak dari kalangan kaya-raya.
+++
Disisi lain, Adikara tengah tertidur pulas di kelasnya. Tambahan materi di jam terakhir sangat mengantuk sekarang.
"Adikara!" gertakan dari Ibu Fatma tak membuat Adikara terbangun. Lelaki itu hanya sedikit mengerang, membenarkan posisi mencari posisi terenak.
Adikara masih terlelap walau teman-temannya berusaha membangungkannya. Bu Fatma menghela napas, mengontrol emosinya.
Lalu, Bu Fatma sedikit mengeraskan penjelasan materi yang ia beri, Adikara tidak bereaksi.
"Baik, segera kemari barang kalian," seluruh kelas melotot mendengar Bu Fatma mengucapkannya dengan keras.
Adikara terkejut ia langsung mengemasi barangnya yang di atas meja. Tanpa memperdulikan sekitar, mata tajam lelaki itu terlihat merah, seperti orang bangun tidur.
Adikara baru menyadari sesuatu ketika Fajar melayangkan tatapan bertanya, sekaligus kode untuk menghadap ke depan.
"Heh lo nggak pulang? Lo nggak denger apa Bu Fatma ngomong apa?" tanya Adikara polos, tak menyadari jika seluruh mata di kelas itu terpaku padanya. Fajar terus memberikan kode, tapi Adikara tak jua menangkapnya.
"Apa sih melotot gitu? Ngomong aja!" perintah Adikara yang direspon menepuk jidat oleh Fajar.
"Depan!" sontak Adikara menoleh ke depan, nyengir kecil kepada Bu Fatma yang menatapnya. Kacamata yang bertengger di hidung lancip Bu Fatma kini di lepas.
Adikara menyapu seluruh isi kelas yang menatapnya, "Apa lo!" ujar Adikara galak. Penghuni kelas itu hanya menggeleng.
Bu Fatma menghela napas, "Dika, tolong kamu jelasin nomer 3!" Adikara gelagapan mendengar perintah Bu Fatma, dia segera membaca soal itu.
Adikara berdehem sejenak, lalu menjelaskan sebisa ia. Hum, ralat. Otak Adikara sekarang udah cerdas kok. Jadi, dia mampu menjelaskan semuanya secara rinci walau dia tak mendengarkan penjelasan Bu Fatma karena ia tinggal tidur.
"Dasaran otak lo aja yang tokcer mah beda," gumaman itu terdengar. Entah siapa sumbernya.
"Kalau gue yang ada di posisi Dika sekarang, mungkin masih garuk-garuk leher."
"Dia mah emang gitu,"
Dan masih banyak gumaman-gumaman lainnya.
Bel tanda berakhirnya tambahan materi sangat melegakan seluruh siswa kelas 12, semuanya berteriak senang. Tidak peduli ada guru di depan mereka.
"Aaa!!" koor serempak kelas Adikara. Bu Fatma pamit undur diri, seluruh siswa segera bisa mengemasi barangnya.
"Langsung pulang?" tanya Adikara yang diangguki Fajar.
+++
Disinilah Adikara berada, di sebuah toko buku. Pria itu menenteng beberapa buku, entahlah sepertinya dia lebih rajin akhir-akhir ini.
Pria itu menyisir pandangannya ke segala arah lantai dua toko buku itu, tempat para novel juga biografi berada.
Netra tajam itu menangkap sesosok gadis yang sangat dia kenal tengah berbincang dengan seseorang. Seorang lelaki. Nampak gadis itu mengenakan kaos serta celana tak lupa cardigan yang menjadi pelengkap penampilannya. Kaki mulusnya hanya dibaluti dengan sandal gunung saja, jangan lupakan sling bag kecil berwarna coklat itu.
Sedangkan si pria nampak casual dengan kaos serta kemeja, celana jeans lalu sneakers di kakinya.
Gadis itu tertawa ketika sang pria melemparkan candaan, sampai menepuk pelan lengan pria itu. Gadis itu Asmaraloka. Pacar seorang Adikara.
Dengan dada yang bergemuruh, Adikara menghampiri kedua manusia itu.
Mara menolehkan pandangan ke samping mendapati Adikara berjalan cepat ke arahnya, mata sipit itu sedikit melotot, mungkin terkejut dengan kedatangan Adikara.
"Ikut gue!" titah Adikara tak terbantahkan, keduanya menuju kasir toko buku itu yang terlihat sepi serta meninggalkan sejuta kebingungan di benak pria itu.
+++
Mara duduk di depan Adikara di sebuah caffe. Jujur Mara tak terlalu menyukai nongkrong, hanya menghabiskan uang menurutnya. Mara menghela napas, dia menantikan Adikara angkat suara. Apakah Mara berbuat kesalahan?
Adikara masih membuang pandangannya, menuju ke arah samping seraya mengeratkan rahangnya. Terlihat menahan emosi.
Mara sekarang sudah jengah, bosan, "Kak, kalau nggak ada yang mau dibicarain maaf banget, gue harus pulang. Ini udah hampir malem," Adikara kini menatap tajam Mara yang angkat suara.
Mara langsung menundukkan pandangan, "Itu tadi siapa?" ucap Adikara dingin. Ah, Mara tau lelaki di depannya ini sedang.... Cemburu?
"Temen gue Kak,"
"Siapa?"
"Lo nggak kenal, nggak penting juga,"
"Kok lo bisa ketawa lepas sih sama dia?"
"Karena kita kenal lama. Dia tau semua, kita biasa gitu," ucapan spontan Mara membuat Adikara tersenyum sinis.
"Jadi maksud lo gue cuman orang baru? Gue belum tau semua tentang lo? Iya gitu?" Sarkas Adikara membuat Mara terdiam. Sepertinya dia salah bicara.
"Enggak gitu, dia itu temen lama gue Kak. Tolong, jangan pakai emosi! Lo tenang aja," lagi dan lagi Adikara menatap tajam Mara. Tersenyum sinis lagi lalu melempar pandangannya ke samping. Menatap Mara lagi kemudian tersenyum sendu.
"Lo pikir deh, cewek gue ketawa lepas sampai kontak fisik sama cowok yang nggak gue kenal. Cewek gue bilang karena teman lamanya, secara nggak langsung dia bilang gue itu orang baru." tekan Adikara diiringi nada sinis.
"Kak, jujur ya gue nggak tau mesti jelasin kek mana lagi. Lo jangan mempersulit. Gue belum pernah pacaran. Gue nggak tau cara ngadepin kek gini, mau lo gimana?" jujur Mara dengan tatapan ke arah mata Adikara. Alhasil terjadilah tatap-tatapan antara mereka. Kontak mata itu belum terhenti. Sampai Adikara kembali tersenyum sinis.
"Jangan bikin cowok suka sama senyum lo," tungkas Adikara membuat Mara tertawa.
"Lo gila? Maksud lo gue harus sinis gitu, Kak?" sarkas Asmaraloka yang terpancing emosi.
"Bukan, jangan sinis gausah terlalu berlebihan aja. Jangan ketawa lepas--"
"Dan gue nggak akan bisa nahan tawa gue,"
"Ra, tolong kali ini aja. Tawa lo itu emang nggak bagus-bagus banget, tapi bikin orang seneng,"
"Bikin orang seneng pahala Kak. Gue nggak suka dikekang, gue mau bebas berteman."
"Inget gue pacar lo!"
"Pacar yang baik nggak akan ngekang karena alasan konyol Kak, gue permisi!" Mara meninggalkan Adikara yang kini mengacak rambutnya kesal.
***
Sorry untuk typo dan kesalahan kata. Cuman pakek HP ehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Giovanile
Teen FictionAsmaraloka sebelumya hanyalah gadis biasa yang tidak terkenal, tidak cantik, tidak tajir, namun pintar. Eksistensinya di sekolah jarang diketahui, tak banyak yang mengenal dia. Namun, Asmaraloka kini tiba-tiba menjadi sorotan, apakah penyebabnya? Bu...