4

193 16 0
                                    

Cerita ini didedikasikan untuk semua pemain di masa putih biru  saya dan juga temen-temen kelas X-MIPA 2 yang rata-rata absurd juga kelas X-5 yang cuma bertahan seminggu tapi sudah heboh. Luf yu gaiss :* makasih dah jadi gudang inspirasi

***

Eh jujur ya, aslinya yang nulis nggak ada niat buat cerita ini. Karena sebagian besar ini itu true story, kisah yang nulis pas di sekolahan. Tapi ya ada sih yang fiksi. Cerita ini ada karena yang nulis lagi rindu sekolah, heheh. Oke, back to story.

"AH ABANG LEMOT AH! GUE DAH NUNGGU DARI TADIII BANGET," protes Mara saat Ranu—abangnya mendarat mulus di depan gerbang sekolah, "dah yok pulang!" lanjut Mara ketika badannya telah mendarat di jok motor.

"Udah bawel, banyak protes. Untung nggak gue bikin nunggu seabad, untung lo nggak gue gantung," Ranu nyaut dengan sekenanya.

"Bacot lo Bang!"

+++

"IBUUUK!!!" teriak Mara setelah sampai dipelataran rumah bercat putih gading itu.

"Salam dulu, to Nduk." Kata seorang wanita paruh baya yang masih tergolong cantik diusianya yang tak lagi muda. Di tangannya terdapat sebuah selang untuk menyiram tanaman-tanaman di mini garden itu.

"Hehehe, assalamu'alaikum Ibu Imah yang canteek," kata Mara dengan sedikit cengengesan. Disalimilah tangan yang sudah mulai keriput itu. Lalu dia berdiri tegak lagi dengan senyuman yang tak pernah luntur.

"Ibuk, Ibuk masak apa?" tanya Mara seraya melangkah menuju dalam rumah sederhana itu. Imah—Ibunda Mara dan Ranu tersenyum lalu direngkuh bahu anak-anaknya.

"Kan tadi Ibu ngajar, jadi ya Cuma bisa masak soto doang," Ibu Imah menjelaskan dengan suara lemah lembut. Ah, semua bukibuk kalau dalam mode baik juga gitu, kalau dalam mode marah ya jangan main-main kalian!

"Waaah serius soto? Asik! Bapak dah pulang?" Ranu memutar bola mata jengah. Ada-ada saja perilaku kekanak-kanakan Mara yang mampu membuat Ranu 'ogah'.

"Udah, tuh di dalam, sana masuk gih!" tanpa menunggu komando kedua kalinya, Ranu dan Mara melangkah masuk menemui Dady—raja di rumah ini.

+++

Tepat pukul 7 malam, keluarga kecil nan sederhana itu memenuhi ruangan di sebelah dapur. Bukan meja makan, hanya sebuah ruang kumpul-kumpul saja. Tapi ya memang sih ruangan ini sering digunakan untuk meja makan.

Dentingan sendok yang beradu dengan piring memenuhi ruang udara ruangan itu. Tak ada percakapan karena memang sudah menjadi kebiasaan keluarga itu kalau makan nggak boleh ngomong. Tersedak kan ya nggak lucu manteman.

"Sini, biar aku aja yang cuci piring," ucap Mara sambil mengambil piring-piring yang tergeletak di meja.

"Ah kamu, sini nggak usah biar Ibuk aja." Kata sang Ibu namun Mara tetap bersikeras. Si Ibu tersenyum, di balik sifat kerasnya Mara, kalau sudah rajin Mara akan rajin di atas rata-rata. Meski rajinnya Mara itu sesuatu yang langka sih.

Selesai cuci piring, Mara kembali ke tengah-tengah keluarganya. Ranu—kakak lelakinya itu sedang bercengkrama dengan kedua orang tuanya.

"Nah ini nih, cuci piring aja sejam. Apalagi kalau dandan," Ranu yang melihat kedatangan Mara mulai sewot.

"Mulutnya, Bang!" tegur Imah dengan nada geram. Dady—pria paruh baya itu hanya tersenyum saja. Gambaran keluarga yang harmonis ya mereka ini.

"Gimana dek, dapet pacar?" tanya Dady pada bungsunya. Imah tersenyum meneduhkan.

"Bapak, Mara sekarang nggak mikirin gitu-gituan dulu. Mara masih sekolah. Kalau pun ada yang suka ya biarlah. Mara nyadar diri kok, Pak. Lagi pula, masa sih Bapak Ibuk susah-susah kerja buat nyekolahin Mara buat nyukupin kebutuhan Mara, Mara malah enak main-main." Jawab Mara yang diangguki Ranu.

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang