31

50 5 0
                                    

Happy reading~

🌼🌼🌼

Setahun beralu semenjak tragedi yang menimpa Asmaraloka, gadis itu belum bosan memejamkan matanya. Dia belum membuka mata sejak satu tahun lalu. Adikara, si pria pilu yang baru saja gagal mewujudkan salah satu angannya. Adikara gagal masuk Akademi Militer. Padahal janjinya dulu akan membanggakan Asmaraloka ketika bangun dari tidur panjangnya. Nyatanya? Dia gagal meraih salah satu impiannya. Tapi tak apa, mengabdi pada negeri tak harus menjadi TNI-POLRI, Adikara telah diterima menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. Adikara sampai sekarang juga masih rajin menyambangi Asmaraloka di rumah sakit. Tak lupa ia juga selalu membawa bunga sedap malam setiap harinya. Mekka dan Keira sudah berada di tangan pihak berwajib, dan sampai saat ini belum sekalipun Adikara menengok kedua cewek yang telah menyakiti gadisnya. Bahkan jika ditanya masih marah atau tidak, Adikara tentu saja masih meradang melihat wajah kedua perempuan itu. Tambah lagi Mekka. Ah sungguh Adikara muak dengan mantan sahabat Asmaraloka itu.

Sekarang, Adikara tengah duduk di sebuah caffe di sekitaran universitasnya. Memang, dia sudah tidak ada matkul setelah ini. Tapi tetap saja selalu ada tugas-tugas yang mengintai. Ah iya, dengan wajah tampan Adikara, otaknya yang encer, juga badannya yang atletis tentu saja mengundang banyak perhatian dari kaum hawa. Tak sedikit Kakak tingkatnya yang terang-terangan mendekati Adikara. Sayangnya, pria itu sekarang menjadi lebih dingin dan cuek dengan makhluk bernama perempuan. Kesetiaan Adikara pada Asmaraloka disaat seperti ini memang sangat diuji.

Dering ponsel mengalihkan atensi pria itu pada laptop di depannya. Wajah lelaki itu berubah menjadi sangat sumringah ketika mendengar orang di seberang sana menyampaikan sebuah kabar yang sangat membahagiakan menurutnya. Adikara langsung menyamber kunci motor juga jaketnya untuk segera menuju tempat yang dikatakan orang itu.

+++

Di sisi lain, Asmaraloka kini sudah membuka matanya. Bahkan dia sudah tersenyum bahagia ketika mendapati Ratih di sisinya. Sayangnya mata itu tak menangkap kehadiran Mekka.

Kedua orang tua Mara, Ranu, Ratih kini terlihat sangat hangat. Sayang, sepertinya Mara menantikan sesuatu tidak tau apa. Keluarga Mara kini sedang menunggu Adikara di luar. Pasalnya, Ranu baru berani mengabari Adikara ketika matkul Adikara ia perkirakan telah selesai, takut mengganggu karena Ranu sadar Adikara bisa nekat jika menyangkut adiknya. Jadilah Mara hanya berdua dengan Ratih.

"Lo tuh nggak bosen apa tidur terus?" Si kalem—Ratih kini menjadi sedikit bawel. Mara tersenyum, Mara merasa hanya tidur beberapa jam aja. Memang sih kerasa lama, tapi kan memang kalau orang capek gitu kan?

"Emang gue lama banget ya tidurnya? Berapa lama sih?" Mara sekarang tampak baik-baik saja. Meski baru beberapa jam membuka mata, tapi keadaan Mara sudah terlihat bugar. Ratih menjadi lebih ekspresif, jujur saja Mara sedikit asing dengan sikap Ratih yang mendekati seperti Mekka. Padahal, saat ini Ratih hanya berusaha membuat Mara lupa kepada si penghianat itu maka dari itu Ratih membuat sikapnya menjadi seceria mungkin.

"Gila lo gak sadar? Setahun, Ra! Astaga ya lo, nyenyak banget ya tidurnya sampek gak sadar waktu?" pertanyaan Ratih membuat Mara menganga. Apa iya dia selama itu terpejam?

"Yang bener aja lo?! Masa setahun sih? Lama banget, tapi.." Mara menggantungkan perkataannya membuat Ratih semakin penasaran, bibirnya bergerak mengikuti kata terakhir yang diucapakan Mara, "tapi gue ngerasa gue gak sendiri. Gue kadang denger tuh banyak yang ngomong, gue gak tau siapa." Ratih mengerutkan dahi. Sayangnya Ratih juga masih anak SMA yang tak mengerti medis-medi macam ini.

Pandangan Mara menyapu ruangannya, lalu berhenti pada nakas di sebelahnya. Dia mengerutkan dahi, ada sebuah toples bulat berisi banyak origami, juga ada bunga kesukaannya—sedap malam.

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang