16

107 6 0
                                    

"Lo mau kan jadi penyemangat gue, Asmaraloka? Will you be my girlfriend?"

Mata Asmaraloka membulat seketika, dia sangat terkejut dengan pernyataan Adikara. Tak lama, kemudian tawanya meledak. Tawa keras.

"Apa deh? Kalau lo jadiin gue percobaan sorry nih ye gue anti baper-baper club!" katanya seraya menahan cairan bening yang memaksa keluar.

Mata tajam Adikara masih mengamati wajah, ralat Adikara masih menatap tajam mata Mara. Yang ditatap masih tertawa, tak lama sih kemudian berubah menjadi senyum tulus. Dia sadar akan arti tatapan serius milik Adikara.

"Kak, gini ya. Gue jelasin duduk perkara kita. Lo harusnya tau posisi lah, lo siapa gue siapa? Gue nggak pinter, gue nggak cantik, gue bukan anak konglomerat, sedangkan lo sebaliknya. Kita itu seperti langit dan bumi, nggak akan nyatu. Ayolah! Sadari itu Kak Adikara Ceriga Amertha yang terhormat," katanya sebelum kembali berniat menggendong tasnya. Namun, gerakan Mara kalah cepat dengan sebuah tangan kekar yang mencekalnya. Kedipan mata tajam itu mengisyaratkannya untuk duduk kembali. Manut, Mara pun duduk di tempat semula.

"Sekarang dengerin gue. Giliran gue yang bicara. Oke kalau lo anggep kita ini langitt dan bumi. Tapi ayolah! Langit dan bumi emang nggak pernah bersatu, tapi mereka melengkapi. Kalau tidak ada langit, bumi tidak akan teduh. Kalau tidak ada bumi, langit tidak ada yang dipayungi. Ra, oke kalau lo bilang gue ini itu sedang lo kebalikannya. Minyak sama air aja kalau lagi bikin mie rebus saling melengkapi kok, minyak buat numis bumbu, air buat kuah plus ngerebus mie. Sekarang gue tanya, emang mata gue yang katanya dingin ini ada raut bercanda? Ada tanda percobaan?"

Diam.

Mara hanya mampu menatap lurus tanpa berani membalas tatapan Adikara. Yup! Tatapan orang ini mirip tentara yang sedang mengintai musuh(kek pernah lihat tentara ngintai musuh aja ah!). Lagi lagi Mara tersenyum, senyumnya tak manis, tidak pula meneduhkan, hanya senyum lebar pembawa keceriaan.

"Lo diam, Mara! Karena lo tau jawabannya. Gue serius. Sekarang bilang sama gue, kenapa kayak gini?"

Diam. Mara hanya menatap lurus dengan ekspresi datar.

"Gue lagi ngomong sama manusia. Bukan sama patung, jadi ayolah jawab!" desak Adikara yang membuat Mara berlari. Lari tanpa memedulikan panggilan Adikara.

+++

Genap seminggu Asmaraloka tidak berniat menjalin komunikasi dengan Adikara. Padahal boom chat dari Adikara sering kali dia terima.

From : Kak Adikara.

Selamat pagi Bakpao gue! Selamat berjuang belajarnya ya! Semangat J

Sebait pesan dari Adikara itu selalu ia terima di pagi hari. Namun selalu ia acuhkan. Lebih tepatnya dia read saja.

"Aduh aduh kelihatannya lagi ada mendung nih?" kata Hanny yang berada di sampingnya. Sudah dibilang kan kalau kelasnya Mara rolling tempat duduk seminggu sekali? Nah dia sekarang bersama Hanny.

Mara hanya tersenyum tipis, tidak menanggapi. Dia sedang tidak mood sekarang.

"AH ELAH BULSHIT BANGET KATANYA NGGAK BAKAL ADA PR PR SEGALA!" Juna datang dengan uring-uringan. Tanpa salam tanpa 'say hay' tiba-tiba ngedumel.

Tiga puluhan pasang mata sekarang tertuju pada cowok jangkung itu. Memang, jika sudah berurusan dengan sinus dan cosinus itu beda rasanya. Maka dari itu, selagi belum atau tidak mengenal cosinus, sinus, dan tangen nikmati hidupmu.

Juna duduk dengan raut muka masam, untung ganteng coba kalau engga waaah ancoorr.

"Gue loh nggak ada PR, karena tugas gue emang udah selesai," saut Mara yang memang musuh bebuyutan dengan Juna. Juna mengalihkan pandangan menuju Mara yang anteng santuy bak dia tidak mengatakan apa-apa.

"Halah dapet 75 aja songong lo!" maki Juna nun jauh di pojokkan. Okay pasti sebentar lagi akan terjadi perang, lihat saja kalau tidak percaya. Kini, seluruh kelas diam memilih menonton pertunjukkan yang akan terjadi sebentar lagi.

"Heh! Mending ya gue udah ngumpulin, bebas tugas daripada lo udah belum ngumpul kerjaannya ngedumel mulu!" Mara sudah berdiri dari tempatnya bersiap menyerang Juna jika diperlukan, tapi.

"Assalamu'alaikum anak-anak, hari ini kita adakan formatif ya!"

+++

Satu jam setelah formatif dadakan dikumandangkan, kelas X-2 masih hening dan diam. Mara, gadis itu sudah gelisah sedari tadi bagaimana tidak dia belum juga mengerti bab yang diujikan tapi tiba-tiba formatif.

"Okay waktunya 15 menit lagi ya!" kata Pak Darno seraya memandang ponselnya. Bukan buat buka Wa atau pesan lainnya, melainkan untuk main PUBG. Siapa yang penggemar PUBG? Selang lima belas menit kemudian kelas menjadi ricuh, Pak Darno menghentikkan permainannya, lalu memandang seisi kelas.

"Yang bergerak Bapak minus lima," ucap lelaki berkumis tebal itu dengan lantang. Bak pakai remot otomatis, seluruh penghuni kelas mendadak diam. Pak Darno tersenyum miring,"Bagus,kumpulin sekarang!" ujarnya membuat seisi kelas menganga. Mau tak mau, rela tak rela tiga puluh enam siswa itu mengumpulkan pekerjaan mereka. Ya meski setengah hati, Pak Darno melangkah keluar kelas dengan santuy, seakan tidak terjadi apa-apa. Mana raut wajah si Bapak juga tetep garang lagi, kan ya jadi takut.

"Ah Pak Darno asem banget dah gue nggak tau apa-apa ini!"

"Pak Darno guru terfav, kapan jamkos coba?"

"Terimakasih Pak Darno berkat Bapak saya yakin,"
Prabu menghentikan ucapannya setelah seisi kelas tertuju padanya, "YAKIN REMIDI!" teriak X-2 berbarengan.

+++

Bel istirahat berbunyi semenit lalu, Mara mengemas bukunya lalu beringsut mengambil bekalnya. Hanny juga teman perempuan lainnya masih berburu nasi dan lauknya di kantin. Dia sengaja membawa bekal biar irit karena ada sebuah buku yang sedang ia incar, sungkan jika langsung minta kepada orang tua.

Kelas sepi, hanya ada Mara dan beberapa anak kutu buku. Serta ada juga seorang anak yang sok jago dan ya begitulah, untung anak guru di SMA Darma Bhakti kalau tidak, uh habis deh disindir!

"Makan apa?" suara bariton yang sangat familiar bagi Mara. Acuh. Mungkin itu satu kata yang menggambarkan Mara saat ini, "gue pengen ngomong," ucap pria itu lagi. Mara masih bungkam, enggan berinteraksi lebih lagi.

"Ngomong aja," ucap Mara dingin dan singkat. Nada cerianya hilang seketika. Adikara—pria itu menghela napas panjang. Adikara kerepotan sendiri menghadapi Mara.

"Nggak disini," jawab Adikara singkat menimbulkan kerutan di dahi Mara. Selanjutnya tawa sumbang Mara terdengar. Lalu tepukkan tangan dari perempuan itu menyusul.

"Ngomong apa sih? Tinggal ngomong aja repot," Mara tetap melanjutkan makannya. Enggan berharap lebih. Okay untuk Adikara, dia harus sedikit bersabar.

"Gue mau tagih jawaban lo kemarin, yang pertanyaan gue beberapa hari lalu. Gue beneran, Ra. Gue nggak bohong," tangan kekar Adikara memegang tangan mulus milik Mara. Tatapan dua mata itu bertemu, jujur saja Mara agak tersihir dibuatnya. Tak lama tatapan Mara kembali dingin, dia merasakan tangan Adikara sedikit mengelus tangannya, memberi ketenangan. Tak lama,

Cup!

Kecupan milik Adikara mendarat di tangan Mara. Seketika Mara mematung ini pertama kalinya seorang lelaki selain keluarganya memegang tangannya. Dan Adikara adalah lelaki pertama yang mengecup tangannya.

Tatapan Mara yang semula dingin kini melembut, jujur perilaku manis Adikara sedikit meluluhkan dinding hatinya yang dingin. Dua mata itu saling mengunci, mata tajam Adikara mampu menyihir Mara. Setelah beberapa menit saling menyelami tatapan, akhirnya Mara angkat suara.

"Tidak,"

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang