28

61 7 1
                                    

Happy reading~

****

Satu bulan sudah mata Asmaraloka terpejam. Bibir yang biasanya terlihat segar itu juga pucat. Wajah ceria yang biasanya terpancar juga lenyap. Satu bulan pula Adikara rajin datang setiap hari. Setelah seminggu lalu dia berhasil membuktikan kalau dia tak bersalah, kini keluarga Asmaraloka justru semakin mendukungnya.

Adikara di sekolah juga terlihat dingin. Adikara yang biasanya ramah kini memiliki tatapan super tajam seperti elang yang mengincar mangsanya. Satu bulan juga Adikara mendalami kasus Asmaraloka—kekasihnya. Dia mencari dalang di balik semua kejadian yang menimpanya.

Mulai dari siapa yang mengirim video, siapa yang menabrak Asmaraloka, dan terakhir siapa yang memberi tahu orang tuanya kalau dia memiliki Asmaraloka. Ah bukan, mungkin orang kepercayaan keluarganya yang menyelidiki perubahan sikap Adikara.

Iya, orang tua Adikara juga sudah tau. Ayahnya yang seorang jendral juga Ibunya yang seorang CEO tak menjadikan kedua orang tua Adikara membeda-bedakan setiap kasta sosial. Beruntunglah Adikara memiliki keluarga yang open minded sehingga mendukung upaya Adikara untuk Asmaraloka.

"Kamu ke rumah sakit, Dik?" itu suara ayah Adikara yang jarang di rumah. Semenjak Adikara menjadi lebih pendiam, orang tuanya akhirnya memberikan perhatian penuh kepada sang anak. Anak tunggal yang sebenarnya disayang tapi merasa kesepian, itulah Adikara. Mama Adikara memutuskan untuk berkerja dari rumah di sebuah ruangan kerja khusus milik perempuan itu,

Adikara hanya berdehem menjawab pertanyaan ayahnya, mama Adikara—Renata hanya tersenyum miris melihaat kelakuan anaknya. Renata tau, Asmaraloka bukanlah kekasih pertama anak lelakinya itu, tapi dia baru kali ini melihat perubahan sikap Adikara.

Adikara berubah hanya karena merasa bersalah dan bersedih Asmaraloka memenuhi kata-katanya. Dia sangat tidak menyangka.

"Lo tenang aja, Kak. Gue nggak bakalan biarin itu semua, gue bakalan tetep diam sekalipun lo ada di samping gue,"

Dia ingat betul kalimat Asmaraloka itu.

Adikara berangkat ke sekolah dengan enggan, dia sudah tidak sabar menantikkan pulang sekolah. Dia tidak sabar berbincang bebas dengan Asmaraloka.

+++

Motor sport Adikara bergerak meninggalkan sekolah, dia sekarang sangat jarang mengendarai mobil. Dia akan teringat kucuran darah Asmaraloka ketika ia mengendarai mobil BMW hitamnya.

Di sebuah florist yang menjadi langganan Adikara sebulan belakangan ini, Adikara memberi beberapa tangkai sedap malam—bunga kesukaan Asmaraloka. Adikara tersenyum, bahkan selama mereka berpacaran Adikara belum pernah memberikan Asmaraloka sebuket besar sedap malam.

Setelah mendapatkan bunga itu, Adikara kembali melajukan mobilnya menembus jalanan Ibu kota.

Tiba di depan sebuah pintu putih yang belakangan ini dia kunjungi, Adikara tersenyum getir. Ruangan itu senyap, hanya alat-alat yang menempel di badan Mara saja yang memecah keheningan.

Pintu itu berdecit yang disusul Adikara masuk ke dalam. Netra Adikara melihat wanita yang sangat dia sayangi terbaring tak berdaya. Matanya terpejam, bahkan Adikara melihat wajah damai Asmaraloka. Lelaki itu melangkah, mengganti bunga sedap malam dalam vas. Dan menulis sebuah note.

Hari ini kamu masih belum sadar, bahkan aku masih sangat merasa bersalah. Sayang, cepatlah sadar. Aku sangat merindukanmu.

Adikara melipat note itu kemudian memasukkan di dalam toples kecil di samping vas.

Lalu dia duduk di sebelah ranjang Mara, menggenggam tangan gadis itu lalu menempelkan tangan putih itu di pipinya.

"Belum capek ya tidur terus?" ujar Adikara seolah sedang mengajak Asmaraloka berbicara, "geli tau gak rasanya manggil aku-kamu sebulan ini. Tapi gapapalah, biar beda gitu." Kata Adikara terkekeh singkat.

"Ra, aku gak nyangka kamu nepatin omongan kamu sebulan lalu. 'gue bakalan diem sekalipun lo di samping gue',"

"Aku tau kamu tuh paling gak bisa ngingkarin janji. But, please gausah merem terus. Aku kasihan sama mata kamu, nanti pegel,"

"Ra, maafin aku. Aku rela kamu lupain kamu tinggalin asalkan kamu buka mata kamu, Ra. Aku kangen kamu ketawa, aku kangen bawelnya kamu, aku kangen cerewetnya kamu. Jangan gini terus, aku ga suka," setetes air mata Adikara menetes di tangan Asmaraloka.

Lelaki itu mengecup tangan Asmaraloka tulus seraya memejamkan mata.

"Ra, aku sayang kamu. Sangat menyayangimu, maafin aku ya!"

Adikara stay di ruang rawat Mara sampai malam. Kini, Ibunda dan keluarga Mara sudah berkumpul. Ranu juga bisa kembali seperti Ranu yang awal Adikara kenal. Ketiga manusia di dekat Adikara bisa tertawa, tapi tidak denga lelaki itu.

Ponsel Adikara berdering, tercetak nama ayahnya disana.

"Assalamu'alaikum, giamana Pa?" jawab Adikara setelah izin mengangkat telpon.

"......"

"Adikara masih di Mara, Pa. Kenapa?"Adikara kini berjalan sedikit menjauh dari keluarga Asmaraloka.

"......"

Mata Adikara membola, pasalnya dia tidak menyangka Papanya akan mengutarakan itu.

+++

Lengkap sudah ruangan Mara sekarang.

Ada keluarga Asmaraloka, Adikara, dan nilai plusnya adalah kehadiran Mama-Papa Adikara. Papa Adikara bahkan masih terlihat gagah walau sudah hampir purna tugas, Mamanya juga cantik. Kedua manusia itu tak lepas dari kesan mewah di mata keluarga Asmaraloka.

Namun, di luar dugaan keluarga Adikara terlihat membumi, tidak terlihat kesenjangan diantara pembicaraan mereka.

Bahkan, Ibunda Asmaraloka yang awalnya meragukan kasta sosial Adikara kini perlahan menerima. Bukan, beliau sudah sepenuhnya menerima. Ranu, juga lelaki itu terlihat santai dengan situasi sekarang.

Renata dan Imah asik dengan pembicaraan tentang dapur juga edukasi anak-anak, dan Prawira dan Dady sibuk dengan urusan pertandingan sepak bola.

"Iya nih Bu, anak jaman sekarang mana ada yang sudi main dakon, semuanya HP. Pusing Bu kadang lihatnya!" itu suara Renata yang kini terlihat asik berbincang dengan Imah.

"Lah ya iya Bu. Masih kecil udah dipegangin HP. Megang Sosmed. Astagfirullah apa orang tuanya gak sadar ya HP tuh bahaya, bukannya sirik atau apa sih ya, Bu. Tapi kan tau sendiri kerasnya sosmed itu," Bu Imah nyaut dengan nada 'guru' sekali.

"Betul Bu setuju banget. Banyak keluarga yang kadang 'maksa' buat megangin anaknya HP. Ya emang sih kadang tugas sekolah dikirim lewat HP. Tapi kan masih ada HP orang tuanya, kalau nggak emergency mending gausah kan ya Bu? Baru kalau udah cukup umur tuh dipegangin boleh," Renata dan Imah sama-sama smart, sama-sama tangguh, makanya perbincangan keduanya juga nyambung.

Sampai pada saat keluarga itu memutuskan untuk pulang, dan perlu dicatat. Mereka bertukar nomor ponsel, Papa-Mama Adikara bahkan berjanji akan menjenguk Mara lagi di lain waktu. Nampaknya Adikara dan Asmaraloka mendapat lampu hijau.

+++

"Dik, gak ada seorangpun yang kenal nomor ini. Kecuali dia pakai akun fake," suara Yoga memecah keheningan, memang Adikara tak langsung pulang. Pria itu mampir di sebuah caffe yang ada di daerah Ampera.

Adikara menghela napas, dia sebenarnya lelah tapi dunia tak mengizinkannya lelah. Dia harus terus semangat guna menyelesaikan masalah ini.

"Terus menurut lo siapa yang punya akun itu?"

TBC

Habis in ada surprise, tunggu aja! Maaf cuman dikit, gak rajin update karena lagi ada something. Maaf banyak typo dan gak jelas banget

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang