25

95 8 0
                                    

Happy reading-

***

"Pertanyaan gue, itu bener?" potong Mara tegas lagi saat Adikara berniat menjawabnya. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca.

Adikara memejamkan matanya kuat, sakit sekali.

"Bener," satu kata itu mampu membuat Asmaraloka menitikkan air matanya. Menangis sebentar agaknya bisa mengurangi bebannya.

Tangan kokoh Adikara berniat menghapus air mata Mara, namun dengan sigap Mara menepisnya.

Asmaraloka menghapus air matanya dengan kasar, lalu menatap Adikara yang sedang menatapnya sendu. Tak ada lagi tatapan tajam Adikara.

"Makasih, Kak," ujar Mara singkat.

Adikara berniat angkat suara sebelum tangan Mara mengisyaratkannya berhenti. Adikara terdiam. Dia tak tega melihat tatapan luka milik Asmaraloka.

Asmaraloka tersenyum sinis, "Makasih udah bikin kenangan sakit," ujar Mara bersamaan dengan bel pulang berbunyi.

Mara melangkah meninggalkan Adikara yang mematung, merongsot, lalu menjambak rambutnya keras. Pria itu membuka ponselnya, sekalut apapun hatinya pikirannya tidak boleh kacau. Pada bunyi pertama, suara 'Halo!' dari Yoga didengarnya.

Adikara memejam matanya sejenak, "Kebongkar semuanya," cukup dua kata. Adikara memutuskan sambungan ponselnya. Kaki jenjang itu segera melangkah meninggalkan taman belakang.

+++

Asmaraloka tak henti menitikkan air mata, rasanya perjalanan menuju gerbang depan sangat lama. Apakah taman belakang tambah jauh ya?

Ketika air matanya menetes, Mara tak akan membiarkan ia selalu menghapus air matanya secara kasar, lalu sesekali tersenyum sinis. Mata sipitnya yang biasanya terlihat ceria, kini diliputi amarah, kekecewaan, juga kesedihan.

Memangnya dia apa sampai berani-beraninya dibuat bahan taruhan?

Sejelek apapun dia, semiskin apapun dia, serendah apapun dia, dia juga manusia. Pastilah manusia memiliki hati alias perasaan. Segitu tidak berhargakah ia hingga perasaannya pun tak pantas untuk dijaga?

Asmaraloka mempercepat langkahnya, sampai pada akhirnya dia berdiri celingak-celinguk di gerbang depan. Pos satpam tempat biasanya beberapa orang menunggupun masih terlihat ramai. Mara menoleh ke belakang.

Kosong.

Cih! Apakah dia sedang mengharapkan kedatangan Adikara? Astaga yang benar saja? Dia berdecih ringan lalu tersenyum sinis. Senyum ceria milik Asmaraloka seakan lenyap begitu saja.

"Asmaraloka!" teriakan bariton dari kejauhan. Sang pemilik nama sangat familiar dengan suara itu. Hipotesanya itu seakan didukung setelah sadar keadaan sekitarnya menjadi hening. Dia masih memainkan ponselnya, seakan tak menganggap kehadiran seseorang di sampingnya.

"Ra.." kata suara itu dengan lembut. Semakin membuat Mara muak dan kecewa, "please lo dengerin dulu.." lanjut Adikara yang mana merupakan pemilik suara itu. Mara masih mematung, bergeming berniat membiarkan Adikara berbicara sendiri.

Tak lama, sebelum sebuah genggaman tangan membawanya pergi.

Mara berontak, dia ingin pulang. Dia sudah menghubungi Ranu. Dia memukul ringan lengan kokoh yang membawanya menjauh dari gerbang.

Sampailah dia dan tangan kokoh itu di sebuah bangku di taman dekat lobby, kategori taman depan. Biasanya disitu ramai, tapi berhubung ini sudah jam pulang taman itu menjadi sepi.

"Ra gue bisa jelasin," Adikara angkat bicara seraya menatap Mara lembut.

Mara tertawa sumbang, lalu menghentikannya tiba-tiba, "Basi!" tajamnya dengan tatapan menusuk.

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang