"Udah ayo buru naik! Jangan bikin gue khilaf liatin lo mulu deh!" gepukkan ringan dari tangan Mara membuat Adikara terkekeh, mereka tak sadar ada sepasang mata yang memandang mereka berdua sinis.
++
Motor sport itu sampai di pelataran rumah Mara. Mara turun dengan berpegangan bahu kokoh Adikara, kakak kelas Mara itu tersenyum dengan perilaku gadis yang duduk di kelas 1 SMA itu.
"Dari tadi kek pegangan gitu, ya jangan di bahu juga sih. Kek berasa jadi ojol gue," protes lelaki 18 tahun itu dengan nada kesal, mulut yang ia kerucutkan menambah kesan imutnya.
"Ya terus dimana? Kak Dika mah!" sungut Mara tak mau kalah. Adikara tersenyum jahil, dia mengambil tangan Mara lalu membawanya ke pinggangnya.
Mara terpaku, tidak taukah Dika jika efek perbuatannya sangat dahsyat? Tidak taukah Dika jika Mara mengkhawatirkan kesehatan jantungnya karena harus bekerja ekstra?
Adikara tersenyum sembari menatap mata Mara yang terpaku, "Disini, yang erat ya!" goda Adikara. Adikara yang memang sudah berada di tanah, hum dalam arti dia juga turun dari motor sportnya, berada di depan Mara yang membuat posisi mereka sekarang terlihat seperti sedang berpelukan. Blush! Pipi tembam Mara memerah.
Plak!
Sebuah gepukan Mara layangkan dan auto mendarat di punggung lebar Adikara.
"Oh god! Sakit kali!" protes Adikara lagi. Baru saja Adikara ingin membalaskan perbuatan Mara, sebuah suara bass mengintrupsi mereka.
"Ehem," deheman itu menghentikkan aksi Mara menatap Adikara dengan tatapan jahil. Adikara mengembalikkan sikap wibawanya seperti biasa. Sedangkan Mara, dia masih terpaku di tempat.
"BANG RANU KOK UDAH PULANG??!!!" suara cempreng Mara memenuhi pendengaran kedua lelaki itu, gadis itu berteriak keras sekali dengan suara cemprengnya.
"WOY TOA MASJID! BIASA AJA DONG KALAU NGOMONG, GUE DENGER KALI!" euleh, Ranu juga sekarang ngegas kok. Sama aja, bedanya suara Ranu agak lebih mendengan daripada suara Mara. Sepertinya kalau Mara karaoke dijamin deh, dijamin lari semua itu penontonya.
"Hum, maaf Bang. Tapi Bang Ranu juga teriak," pecah Adikara setelah sekian lama menikmati telinganya yang berdengung.
Skakmat!
Ingin rasanya Mara tertawa puas sekarang. Ranu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dika terlalu jujur menurutnya, Mara sudah berlari menuju Bapak Ibu yang menurutnya sudah datang.
"PAK BU!!!" pekik Mara seraya melangkah ke dalam rumah. Ranu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya itu.
"Masuk, Dik." ujar Ranu mempersilahkan Adikara masuk. Dika tersenyum, lalu mengikuti langkah Ranu dari belakang.
Sejujurnya dia sangat ingin mengenalkan Mara ke kedua orang tuanya, namun. Ada sesuatu yang tak ia yakini dapat diterima kedua orang tuanya.
"Eh, Nak Dika, silahkan duduk!" suruh Ibu Mara kepada Adikara. Lelaki jangkung itu melayangkan senyuman termanisnya.
Lelaki itu juga diajak berbincang ayah Mara. Ibu Mara melangkah menuju dapur, menyusul Mara yang membuatkan minuman serta camilan untuk Adikara.
"Kalian pacaran?" tanya Ibu Mara pada Mara yang sibuk dengan esnya.
Mara sedikit terkejut. Itu juga tertangkap netra Ibu Mara, wanita paruh baya itu tersenyum, "Ibuk nggak ngelarang kamu pacaran. Tapi, kamu tau kan Adikara siapa? Ibuk nggak mau kamu patah hati nanti," ujar Ibu Mara pada Mara. Seketika Mara teringat status Dika.
Adikara Ceriga Amerta, Ibunya adalah CEO sebuah perusahaan besar yang terkenal, sedangkan Ayahnya adalah seorang Jendral TNI.
Itu yang Mara tau, tentu status sosialnya dengan Adikara sangatlah berbeda. Dia hanyalah anak seorang guru. Asmaraloka tersenyum singkat. Ibunya memandang teduh Mara, ah gadis itu. Asmaraloka belum pernah sekalipun jatuh hati, sekalinya jatuh hati pada orang semacam Adikara, malang sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Giovanile
Teen FictionAsmaraloka sebelumya hanyalah gadis biasa yang tidak terkenal, tidak cantik, tidak tajir, namun pintar. Eksistensinya di sekolah jarang diketahui, tak banyak yang mengenal dia. Namun, Asmaraloka kini tiba-tiba menjadi sorotan, apakah penyebabnya? Bu...