4. Afrah : Berharap Bertemu Lagi.

36.6K 2.7K 69
                                    

"Ya Allah." Aku memegang kepalaku yang pening.

Hal yang pertama kali aku lakukan setelah membuka kedua mataku adalah beristighfar dalam hati. Kepalaku terasa pusing. Kepalaku terasa berat. Tubuhku lemas. Rasa pusing ini memang sering terjadi sejak tiga tahun terakhir.

Seorang perawat menatapku lalu beralih membantuku untuk duduk. Perawat itu memberitahuku banyak hal mengenai kondisiku. Setelah sepeninggalnya pun aku tetap saja cemas sampai akhirnya pria beriris biru itu menatapku.

Pandangan kami sempat bertemu. Hanya seperkian detik saja aku terkesima. Dia tampan. Berwajah blasteran. Ntah dia dari negara apa meskipun berada di Indonesia ini.

Dan secepat itu aku merasa berdosa. Ya Allah. Apa yang baru saja aku lakukan? Bukankah sebagai wanita aku harus menundukan pandanganku yang bukan mahramku?

Astaghfirullah.
Astaghfirullah.
Astaghfirullah.

Dalam hati aku beristighfar. Meminta ampun pada Allah bahwa aku salah.

"Asalamualaikum."

Suara sapa dan salam darinya membuatku terdiam. Aku masih tertunduk dan akhirnya aku membalas ucapannya.

"Wa'alaikumussalam."

"Saya minta maaf atas ketidaksengajaan asisten saya yang hampir menabrakmu."

Aku terdiam sejenak. Aku masih menundukkan wajahku. Aku tidak berani menatapnya. Meskipun hatiku sebenarnya gugup dan deg-degan. Nada suaranya sangat pelan. Sopan. Ramah. Pertanyaannya sedikit membuatku merasa dikhawatirkan olehnya.

Perasaan naluriahku sebagai wanita begitu senang sekaligus bersyukur. Ya Allah. Ada apa denganku? Apakah semudah itu aku begitu senang padanya?

"Apa.. kamu, tidak apa-apa?"

Aku menatapnya lagi. Menghargai dia sebagai lawan bicara yang seperlunya saja. Hanya seperkian detik lalu aku menundukan wajahku lagi.

"Saya sedikit pusing. Insya Allah saya akan baik-baik saja. Terima kasih karena sudah menolong saya."

Deringan ponselnya terdengar. Dia sedikit menjauh dan aku bernapas lega. Hanya 10 menit berhadapan dengan pria beriris biru ini. Selama itu aku melampiaskannya dengan meremas selimut pasien yang menutupi sebagian tubuhku karena gugup.

Pelangi pelangi
Alangkah indahmu
Merah kuning hijau
Dilangit yang biru
Pelukismu agung.

Ringtone alunan lagu pelangi yang berasal dari ponselku berdering. Nama Ayah terpampang di layarnya. Aku menerimanya.

"Asalamualaikum Ayah."

"Wa'alaikumussalam. Afrah? Kamu dimana nak? Kamu baik-baik aja kan? 1 jam Ayah menunggumu di restoran. Ayah sampai tidak makan saat jam istirahat."

Lalu aku takut. Rasa bersalah itu semakin menyeruak. Aku sudah membuat Ayahku marah.

"Maafin Afrah Ayah. Afrah, Afrah lagi rumah sakit."

"Apa? Di-"

"Halo? Ayah?"

"Halo? Ayah? Ayah dengar Afrah? Halo?"

Aku menurunkan ponselku. Ya Allah, baterai ponselku benar-benar mati total karena lowbat. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Ayah pasti akan khawatir.

"Butuh ponsel?"

Aku mendongak, menatap pria beriris biru itu. Dia menyodorkan ponsel kearahku.

"Hubungi keluargamu. Katakan pada mereka bahwa putrinya dirumah sakit."

Ana Uhibbuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang