29. Fikri : Masalalu Afrah.

27.6K 2.1K 96
                                    


Aku merasa tidak sanggup begitu bertemu dengan Kak Arvino beberapa menit yang lalu. Hanya menatap kedua matanya seketika pikiranku secara tidak langsung kembali terbayang wajah Devika. Ada kornea mendiang calon istriku disana. Kalian harus tahu itu.

Ya Allah..

Kenapa susah sekali melupakan masalalu itu? Aku sadar aku sudah menikah dan memiliki istri. Tapi kenapa? Apakah istriku itu bukan Afrah tapi Reva sehingga aku tidak mendapatkan cintanya dan sulit melupakan Devika?

Ya Allah..

Aku bingung harus bagaimana. Aku ingin belajar membuka hatiku pada istriku. Tapi sulit. Dia Reva berwujud Afrah. Aku yakin itu. Aku melihat beberapa bukti dimulai dari lukanya.. dari cara dia mengingat seseorang dimasalalu walaupun tidak seutuhnya. Jangankan hal itu, bahkan dia berkata padaku bahwa dia merasa familiar dengan Aiza. Istri Kak Arvino sekaligus kakak iparku itu.

Waktu dimasalalu, Reva begitu akrab dengan Aiza di kampus. Bahkan mereka pun menjadi tetangga saat ngekost.

Aku hanya bisa mencoba sabar mengumpul kepingan puzzle itu satu persatu. Aku tidak boleh terburu-buru. Apalagi ini urusan pribadi dan aku tidak berniat meminta tolong pada orang lain untuk mencari bukti sampai akhirnya Ayah, Bunda dan mertuaku mengetahui niatku yang sebenarnya.

"Mas?"

Aku tersentak. Aku menoleh kebelakang. Tanpa sadar aku memunggungi istriku sejak tadi. Ntah sudah berapa lama. Aku menatapnya yang kini membawa segelas air putih ditangannya.

"Mas, minum dulu ya. Afrah khawatir."

Aku mengangguk. Aku berpindah posisi duduk di sofa dan meminum segelas air putih itu sampai tandas. Aku menyenderkan tubuhku di sofa empuk ini. Tanpa di duga Afrah menyentuh punggung tanganku. Memegangnya dengan lembut.

"Ada apa Mas?"

"Tidak ada. Aku baik-baik saja. Percayalah." ucapku pelan dengan memejamkan kedua mataku.

Sungguh, untuk saat ini aku tidak berani menatap Afrah. Aku takut dia melihat hal yang sebenarnya dari tatapanku saat ini.

"Mas... Maafin Afrah."

Lalu tangan Afrah memijit tanganku dengan pelan. Sentuhan tangannya begitu lembut. Nyaman..

"Afrah cuma mau bilang, kita sudah menikah. Jika ada masalah, Afrah akan dengan senang hati menjadi pendengar keluhan Mas. Insya Allah Afrah bisa bantu bila Mas membutuhkannya."

Aku membuka kedua mataku dan menatap Afrah yang kini menatapku penuh perhatian. Aku pun merubah posisi dan duduk tegak hanya untuk membuka tali cadarnya.

"Terima kasih. Tapi percayalah Afrah, aku baik-baik saja. Tiba-tiba aku pusing sehingga membuatku tidak enak untuk sarapan."

"Mas pusing?"

Seketika raut wajah Afrah berubah khawatir. Aku merasakannya bagaimana genggaman Afrah di tanganku semakin erat.

"Apakah kita perlu hubungi dokter?"

"Tidak." Aku menggeleng cepat. "Insya Allah sebentar lagi pusingnya hilang."

Afrah tidak banyak berkata-kata lagi. Dengan raut wajah cemasnya Afrah malah membawa posisi tubuhku untuk berbaring dengan berbantalan pahanya. Seketika jantungku berdegup kencang.

"Ya Allah.. sembuhkan suami hamba. Kasihan dia."

Suara Afrah terdengar lirih. Jari-jari lentik Afrah memijit keningku dengan pelan. Sesekali dia mengusap rambut kepalaku dengan pelan. Aku terdiam. Ntah kenapa aku sangat menyukai perhatiannya.

Ana Uhibbuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang