Minggu, Pukul 11.00 Siang. Jakarta Utara.
Jika mengingat kejadian seminggu yang lalu saat aku pulang ke Samarinda menemui Pak Amran, Selama itulah aku seperti kerbau di cucuk tanduknya. Ini semua karena Bunda. Si wanita paruh baya tercintaku itu tentu saja menggiringku ke tempat-tempat dimana banyaknya kaum hawa seumuranku berada.
Apalagi saat ini. Hal itu kembali terjadi. Bunda berada satu mobil denganku. Bunda datang ke Jakarta. Katanya mau lihat bisnis restoran yang aku kerjakan. Bisa dipastikan setelah itu kemungkinan Bunda akan mengajakku kembali ke tempat teman-temannya yang juga tinggal di kota ini kemudian berakhir dengan perjodohan putri-putrinya.
Situasi sekarang sudah siang. Mobilku terjebak macet di kota Jakarta. Aku baru saja menjemput Ayah dan Bunda dari bandara. Ayah dan Bunda sekarang sedang duduk di kursi bagian belakang mobil.
"Ya Allah. Macet banget. Kapan sampainya Fik?"
"Beginilah kota Jakarta Bun."
"Apakah setiap hari kamu begini?"
Aku melirik Bunda melalui kaca spion tengah mobilku. "Tidak jika aku pulang larut."
"Apa? Pulang larut?"
"Hm."
"Lah memangnya kamu ngapain pulang larut? Kamu pergi ke tempat yang tidak-tidak ya?"
Aku terkekeh geli. Bisa-bisanya Bunda mencurigaiku sebagai anak yang baik ini ketempat seperti itu.
"Ya enggak lah Bun. Fikri bekerja."
"Kerja kok sampai malam? Kamu punya asisten. Gunanya dia itu bantu kamu Fik. Jangan kebanyakan lembur atau bergadang deh. Nanti gak sehat. Bisa sakit-sakitan."
"Iya Bunda iya."
"Kalau sakit nanti Bunda kepikiran. Kasian bayi besar Bunda kalau sakit belum ada yang urus."
"Fikri bukan bayi."
"Tetap saja bayi kalau belum menikah."
"Iya Bundaaaaa iya." Dan akhirnya aku mengalah saja pada perdebatan ini.
Ayah tertawa geli. Aku hanya berusaha menahan sabar. Bunda selalu saja begitu. Selalu mengkahwatirkan diriku secara berlebihan. Padahal insya Allah aku akan baik-baik saja.
"Sabar nak sabar." Ayah menepuk pundaku. "Orang tampan itu banyak cobaannya. Contoh tuh kakakmu. Dia mewarisi ketampanan Ayah dengan menggaet Aiza. Kapan kamu gunakan ketampanan mu itu nak? Jangan sampai Bunda mengeriput karena stress akibat kepikiran kamu terus."
"Hush!"
Suara Bunda menegur Ayah terdengar. Aku melirik ke arah Bunda lagi melalui spion tengah. Ayah terlihat meringis. Mungkin tadi Bunda memberi cubitan gemas pada Ayah.
"Gini-gini aku rajin perawatan loh Yah. Jangan berpikir seperti tadi."
"Sudahlah Bun. Jangan khawatirkan Fikri. Dia itu sibuk. Mungkin ada saatnya dia akan menemukan jodohnya."
"Iya tapi kapan? Anak kita cuma dua Yah. Kakaknya sudah menikah. Tinggal dia saja nih yang belum."
"Sabar Bun sabar." ucap Ayahku dengan lembut.
"Tapi yah Bunda itu khawatir. Dia sudah dewasa. Sudah saatnya menikah. Jangan sampai terjerumus kedalam kemaksiatan kepada yang bukan mahramnya."
"Fik."
"Ha?"
"Besok temani Bunda ya."
Nah kan. Apa kubilang? Bunda itu selalu saja minta temani kesana dan kesini. Ujung-ujungnya pasti berakhir dengan mempertemukan diriku dengan putri dari anak-anak teman Bundaku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ana Uhibbuka Fillah
RomansaFikri Azka menyukai Devika sejak lama dan berniat menikahinya di masalalu. Pernikahan mereka akan berlangsung dalam waktu dekat. Tapi sayangnya, Allah berkehendak lain. Devika meninggal saat kecelakaan mobil yang di kemudikan oleh Reva, sahabat Fikr...