33. Fikri : Jangan Sampai Terjebak Rasa

24.4K 2K 116
                                    

Kesalahan terbesar yang aku lakukan saat ini adalah membiarkan Afrah berada di dekatku dalam satu ranjang yang sama. Kalau boleh jujur, ya aku memang meminta dipeluk padanya saat tidur. Alasannya karena aku menyukainya.

Jam menunjukkan pukul 14.00 siang. Hujan diluar masih turun dengan deras. Untung saja hari ini adalah hari libur bekerja sehingga membuatku sedikit bersantai-santai.

Untuk sekarang apartmentku memang sepi karena Ayah Bunda, Kak Arvino dan istrinya itu sedang makan bersama di restoran mewah bersama keluarga Bunda dari Amerika.

Aku menoleh ke samping. Afrah terlihat nyenyak dalam tidur siangnya. Dengan perlahan tanpa membangunkannya aku merubah posisiku untuk menyamping menghadap dirinya.

Aku menatap wajahnya secara seksama. Wajah yang cantik. Bibir tipis yang selalu berucap kata-kata penuh perhatian denganku. Wajahnya sangat mulus dan bersih meskipun ada bekas luka jahitan kecil yang masih terlihat di bagian pipi mendekati dagunya.

Ntah dorongan dari mana aku menyentuh pipinya. Kedua mataku menatap wajahnya yang terlelap pulas. Tiba-tiba Afrah menggeliat. Sayup-sayup Afrah membuka kedua matanya.

"Mas?"

"Hm? tidurlah. Maaf membangunkan mu."

Aku tersenyum tipis dan berniat melepaskan sentuhan telapak tanganku di pipinya, namun Afrah mencegahnya.

"Tetap seperti ini. Afrah suka."

Lalu Afrah mencium punggung telapak tanganku dengan kecupan dan tatapan cintanya padaku. Seketika hatiku tersentuh. Aku sadar dia Reva. Tapi.. aku bingung dengan hatiku saat ini.

Kenapa aku menyukai semua perlakuannya? Kenapa aku membiarkan semuanya? Kenapa aku tidak menolaknya sama sekali? Ada apa dengan hatiku? Bukankah dia wanita yang sudah menjadi penyebab kecelakaan Devika dimasalalu?

"Afrah ingin Mas terus seperti ini. Afrah sadar kalau kita baru saja saling mengenal dekat. Boleh Afrah jujur?"

"Mau jujur apa?"

Kini telapak tangan Afrah menyentuh pipiku. Dengan lembut dia meraba pipiku yang kini di tumbuhi jambang tipis yang baru saja aku cukur tadi pagi.

"Afrah suka melihat Mas sejak pertama kali kita bertemu di Aceh."

"Oh ya?"

"Iya." Afrah mengangguk. "Afrah suka melihat kedua mata Mas. Beriris biru. Afrah suka pelangi. Warna biru menjadi salah satu warna dari pelangi."

"Lalu?"

"Afrah malu saat itu. Tidak mungkin Afrah berucap Afrah menyukai Mas. Afrah hanya bisa berharap dari Allah. Afrah pikir berjodoh dengan Mas adalah hal yang mustahil apalagi ada Mbak Fara waktu itu. Tapi, dengan kekuasaan Allah, Afrah tidak menyangka bahwa takdir Allah begitu membahagiakan Afrah. Cinta untuk kita."

Tanpa di duga Afrah mencium ujung hidungku. Jantungku berdetak lebih cepat. Suaranya yang halus dengan kata-kata cinta dari hatinya itu membuatku tersentuh.

"Afrah juga suka dengan kedua alis Mas ini." Afrah menyentuh alisku dengan pelan menggunakan telunjuk jarinya yang lentik. "Kedua alis yang terlihat teduh dengan tatapan Mas kalau lagi serius."

Aku terkekeh geli. "Kamu bisa saja Afrah."

"Afrah serius."

Lalu Afrah mendekatkan posisinya semakin rapat padaku. Seketika aku gugup. Aku sadar, aku pria normal. Pesona kecantikan Afrah ini begitu kuat untuk di abaikan begitu saja.

"Afrah juga suka sama hidung Mas. Mancung. Keturunan blasteran kalau punya anak insya Allah tampan."

Dan tatapan Afrah kini beralih ke bibirku begitupun tatapan mataku yang ikut beralih menatap bibirnya. Aku tahu, rasa ingin lebih dari semua kedekatan ini semakin kuat.

Ana Uhibbuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang