5. Fikri : Bayangan Masalalu Devika

34.4K 2.4K 53
                                    

Aku menyeruput secangkir teh hangat. Rasa manis membuat moodku sedikit meningkatkan. Lalu aku menatap Pak Maulana. Pria paruh baya berumur 50 tahun yang sibuk mempersiapkan beberapa berkas di tangannya. Disebelahnya ada tiga orang pria muda yang mungkin berusia denganku dan sibuk membantu atasannya.

Hari ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan perbincangan penting dengan kolegaku setelah aku pulang dari rumah sakit karena menolong si wanita bercadar itu.

"Pak Fikri?"

"Ya?"

"Sebelumnya saya minta maaf sama Bapak. Tidak seharusnya Bapak kemari. Saya bisa datang ke Jakarta. Apalagi saya yang perlu dengan Bapak."

Aku hanya tersenyum. Pria paruh baya yang rambutnya sudah hampir memutih itu memancarkan aura kharismatik dan ramah.

"Tidak perlu merasa bersalah Pak Lana. Anggap saja tujuan saya kemari sekalian untuk berjalan-jalan menikmati kota umat muslim ini."

Pak Lama tersenyum ramah. Tapi aku benar kan? Kalau tidak, Mana mungkin aku bertemu dengan wanita itu. Wanita bercadar yang sepertinya terlihat gaptek dan pemalu. Bahkan akupun tidak tahu namanya sampai sekarang.

"Oh begitu ya. Kalau begitu selamat datang di kota ini Pak. Sekali lagi terima kasih."

"Sama-sama Pak Lana. Ah iya. Jadi bagaimana dengan kerjasama kita kali ini?"

"Begini Pak Fikri." Pak Lana mulai menyodorkan berkas pentingnya kearahku. Sebuah proposal yang sudah ia susun. Aku mulai membuka halaman pertama dan membacanya secara seksama.

"Sebentar lagi bulan Ramadhan 1440 Hijriah akan tiba. Jadi tujuan kami untuk bekerja sama dengan Bapak adalah kami ingin mendirikan sebuah siaran stasiun televisi bertemakan Dakwah dan Tausiah. Kami akan menyediakan narasumber dan penceramah yang baik berasal dari kota ini."

Aku masih membuka halaman demi halaman dengan serius. Membaca semua proposal kerja sama dari Pak Lana dan Tim nya.

"Kami kekurangan dana untuk mendirikan stasiun televisi ini Pak Fikri. Kami butuh dana untuk melancarkan semuanya. Termasuk gaji para karyawan, tim, dan kru serta dana-dana yang kami butuhkan lainnya untuk mengembangkan stasiun televisi siaran Islam ini. Kami berniat ingin mengajak Pak Fikri untuk berinvestasi pada perusahaan kami."

Aku menutup berkas proposal milik Pak Lana. Lalu aku menatap pria paruh baya itu dengan serius.

"Apakah penceramah dan narasumber sudah dipersiapkan?"

"Sedang di proses Pak. Saat ini tim kami sedang berkunjung ke beberapa pesantren dan beberapa majelis ilmu agama untuk mencari penceramah dan tokoh agama untuk diajak bekerja sama."

Aku hanya manggut-manggut mengerti. Sebuah kerja sama yang bagus dan akan menjadi ladang pahala untuk berbagi kebaikan di bulan suci nanti.

"Diproposal tersebut sudah kami jelaskan bahwa keuntungan saham yang akan di peroleh perusahaan Pak Fikri sebanyak 50%."

Aku mengangguk. "Baiklah. Saya akan mempertimbangkan lagi dengan membicarakannya pada atasan saya, Pak Amran. Saya akan mengabarinya dua hari lagi."

Pak Lana tersenyum ramah padaku. "Baiklah kalau begitu. Kami akan menunggu kepastian dari Bapak."

Setelah itu kami berbincang sejenak. Lalu Pak Lana membawaku ke sebuah restoran untuk makan siang bersama di hotel ini.

Kami menempati sebuah meja makan yang sudah di reservasi. Bertepatan saat itu, Seorang pemuda yang menjadi petugas hotel pun dengan sopan membawa nampan yang berisi makanan.

"Ini Pak. Ayo silahkan di cicipin."

"Aku menatap banyaknya menu makanan yang terlihat istimewa dan menggugah selera. Beberapa menu diantaranya terlihat asing bagiku."

Ana Uhibbuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang