48. Afrah : Amarah Ayah Dan Bunda

29.7K 2.3K 291
                                    

****

Apartemen Casanova. Pukul 20.00 Malam. 5 hari kemudian.

Setelah semua yang terjadi, akh
irnya aku dan Mas Fikri balik ke kota Jakarta. Tidak ada yang istimewa setelah itu, setelah malam pertama kami yang begitu romantis dan indah.

Seperti yang aku bilang waktu itu, semua akan berubah setelah berakhirnya malam pertama kami.
Mas Fikri memang menepati janjinya. Dia tidak menganggapku Reva lagi. Tapi percayalah, saat ini aku seperti piring yang sudah pecah dilantai.

Hancur berkeping-keping.

Hancur sehancur-hancurnya.

Aku menarik napasku sejenak. Kami tinggal dalam satu apartemen yang sama, tapi ntah kenapa kami bagaikan orang asing. Mas Fikri berbicara denganku hanya seperlunya saja. Begitupun denganku yang hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri sebagaimana mestinya tanpa banyak bicara seperti sebelumnya.

Aku memang hidup. Karena Allah aku masih bernyawa. Tapi ntah kenapa aku merasa sudah tidak hidup lagi. Aku terluka begitu dalam setelah dia akan menikah lagi.

Aku tidak tahu apakah aku salah atau benar dalam situasi sekarang. Mungkin sebagian orang ada yang bilang..

Tinggalkan saja dia.

Untuk apa kamu bertahan sama dia sementara dia menyakitimu?

Masih banyak pria yang lebih baik diluar sana.

Kamu berhak bahagia. Wanita sebaik dirimu pantas mendapatkan kebahagian.

Ya aku tahu. Aku sadar akan hal itu.

Seseorang bisa saja memberi saran kepadaku seperti itu, menandakan bahwa seseorang itu begitu perduli denganku.

Tapi aku berusaha menjalani semua  ini karena Allah sedang mengujiku. Allah menguji diriku apakah aku mampu atau tidak. Allah menguji diriku agar aku senantiasa sebagai hamba Allah terus ingat dan mendekati diri kepada Allah Maha Kuasa.

Aku berusaha berprasangka baik pada Allah. Aku yakin Allah memiliki rencana dibalik ujian ini yang tentunya tidak aku ketahui. Ntah itu apa nantinya.

Aku menatap koper yang berada diatas tempat tidur. Besok pagi Mas Fikri akan berangkat ke Jepang untuk mengurus pekerjaannya dan masalah yang menimpa di D'Media Corp seminggu yang lalu.

Dia memang belum berangkat, tapi rasa rindu, ketakutan, cemas, dan rasa cemburu dengan wanita itu membuatku rasanya tersiksa.

Air mata mengalir di pipiku. Dengan cepat aku menghapusnya dan segera mempersiapkan segala kebutuhan Mas Fikri.

Pintu kamar terbuka lebar, Mas Fikri berdiri diambang pintu. Aku berusaha untuk tetap tenang. Jangan sampai dia melihatku menangis. Jangan sampai. Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah meskipun dalam hati aku seperti sudah terkoyak dan tercabik.

"Sudah kamu siapkan semuanya?"

Aku mengangguk. "Sedikit lagi Mas."

Aku membuka lemari pakaian dan memilih beberapa pakaian yang akan dimasukkan kedalam koper.

"Aku, ingin berbicara denganmu-"

"Mas, ini ada kaos santai. Kain nya adem, tidak bikin gerah. Nanti dipakai ya." ucapku dengan cepat.

Aku berusaha membuat nada suaraku terdengar biasa-biasa saja. Saat ini aku memunggungi Mas Fikri. Aku sengaja terlihat sibuk seolah-olah semuanya baik-baik saja. Padahal sesungguhnya aku melemah.

Aku sedang tidak ingin membahas apapun apalagi mengarah kesuatu pembicaraan tentang wanita itu. Terlalu pedih. Aku sudah pecah bagaikan kaca yang berserakan dilantai dan tidak mungkin bisa kembali lagi.

Ana Uhibbuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang