17. Fikri : Menerka-nerka

23.5K 1.9K 52
                                    

Aku mengemudikan mobilku dengan kecepatan sedang ketika saat ini jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Tidak ada yang istimewa dengan semua ini selain Fara yang periang dan Afrah si wanita polos itu.

Afrah bagaikan anak kecil yang baru saja keluar dari rumah. Itu yang aku pikirkan sejak pertama kali bertemu dengannya di kota Aceh.

Tapi, sesuatu aneh menelusup di hatiku. Rasa penasaranku padanya. Dia mengingatkanku tentang sahabatku di masalalu bernama Reva. Salah satu wanita yang kubenci karena menjadi penyebab kematian Devika. Karena saat di masalalu Reva yang mengemudikan mobil Devika sampai akhirnya kecelakaan itu terjadi.

Ya Allah. Devika lagi Devika lagi. Seketika aku menarik kedua sudut bibirku terangkat karena mengingat almarhum Devika yang cantik. Jika dia masih hidup, mungkin saat ini disebelahku sudah ada Devika. Sosok calon istri yang menemani kesepianku.

Tapi jika di pikir-pikir lagi. Setelah beberapa tahun kemudian hingga sekarang aku tidak pernah mendengar kabar Reva lagi. Ntah dia masih hidup atau tidak, hanya Allah Yang Tahu setelah kabar terakhir yang aku dengar bahwa Reva mengalami koma akibat kecelakaanitu.

Terlalu banyak memikirkan Devika dan Reva tanpa sadar aku mengemudikan mobilku tiba di bassement apartemenku. Aku memarkirkan mobilku dengan rapi lalu mematikan mesinnya.

Bayangan Afrah yang memegang buku ilmu komunikasi tadi benar-benar tidak bisa aku lupakan. Apalagi dulunya aku juga kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi.

Oke aku mengerti kalau yang kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi itu banyak. Tidak satu orang saja. Tapi, aku merasa ada sesuatu di diri Afrah yang membuatku penasaran.

Apakah dulunya Afrah kuliah dengan jurusan ilmu komunikasi juga? Kalau memang benar, dimana wanita itu kuliah? Apakah di universtas yang sama sepertiku di kota Samarinda?

Aku menggeleng cepat. Tidak. Tidak mungkin Afrah kuliah di universitas yang sama sementara Afrah berasal dari kota Aceh.

Sebuah pemikiran bila Afrah pernah menjadi mahasiswi rantauan lagi-lagi terlintas di pikiranku. Mendadak kepalaku pusing hanya untuk memikirkannya.

Tapi jika itu benar. Saat itu aku tidak pernah melihatnya. Apalagi memiliki teman satu jurusan yang bercadar. Deringan ponsel menyadarkanku dari segala pemikiranku. Nama Bunda terpampang di layar ponselku.

"Asalamualaikum. Iya Bunda?"

"Wa'alaikumussalam. Nak kamu dimana?"

"Firki di bassement apartemen. Ada apa Bun?"

"Tidak ada apa-apa Fik. Cepat naik ke apartemenmu. Sudah malam. Waktunya mau tidur. Bunda bikinin segelas susu sapi buatmu."

Aku terbelalak. "Ya Allah Bunda. Untuk apa?"

"Supaya tulang kamu sehat. Umur kamu itu 30 tahun Fik. Jangan sampai kamu jadi bujangan yang osteoporosis."

"Bunda. Please jangan berlebihan."

"Loh, Kamu ini ya! Bunda itu perhatian sama kamu. Mencegah lebih baik daripada mengobati kan? Kamu belum nikah Fik. Kalau sakit bagaimana?"

"Ya ya ya terserah Bunda. Terserahhh.." ucapku penuh kesabaran.

"Cepat ke apartemen sebelum susu kamu dingin ya bayi besar atau Bunda akan menyumpal empeng bayi ke mulut kamu supaya kamu tidak banyak protes!"

Klik. Sambungan terputus.

Ya Allah tabahkan hati hamba.

🥀🥀🥀🥀


Ponsel berdering setelah aku baru saja menutup laptopku. Aku menerimanya. Sebuah nomor tak dikenal.

"Halo Asalamualaikum?"

Ana Uhibbuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang