Sesuai janji Mas Fikri, akhirnya kami sudah chek out dari hotel siang ini. Kami baru saja meninggalkan hotel beberapa menit yang lalu dan sekarang sudah berada di jalanan kota Jakarta untuk refreshing jalan-jalan.
Cuaca begitu cerah. Panas begitu terik. Jalanan memang macet, tapi aku tidak masalah menunggu macet itu berakhir selama Mas Fikri berada disampingku.
Mas Fikri hanya tersenyum geli apalagi saat ini aku menyenderkan kepalaku pada lengannya yang berotot, sementara Mas sendiri sedang mengemudikan mobilnya.
Aku tahu, kami baru dekat dalam beberapa hari ini. Tapi dia halal bagiku, tidak masalah kan? Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ini sangat sangat malu hanya untuk melakukan hal sedekat ini. Tapi, jika tidak begitu, maka kecanggungan itu akan terus berada diantara kami.
"Mas."
"Ya?"
"Terima kasih."
"Untuk?"
"Sudah melamar Afrah dan menikahi Afrah."
"Alhamdulillah. Terima kasih juga sudah menerimaku."
Mobil berhenti di persimpangan jalan. Saat ini lampu merah sedang menyala. Mas Fikri mengambil kesempatan, dia beralih menatapku disaat aku masih menumpukan daguku pada lengannya.
"Afrah sayang Mas."
Mas hanya tersenyum tipis. Tanpa ragu dia juga mencium ujung hidungku. Seketika aku merona merah. Aku mencoba menghindar karena malu tapi tiba-tiba Mas Fikri mencegah niatku.
"Ada apa?" tanyaku padanya yang saat ini berusaha menahan rasa gugup.
"Kamu cantik. Makanya aku suka."
Tatapan kami sama-sama intens. Wajah Mas Fikri semakin dekat. Aku ingin memundurkan wajahku, tapi ntah kenapa aku tidak melakukannya. Masya Allah. Aku jatuh dalam pesona suamiku sendiri.
Wajah kami pun semakin dekat. Aku memejamkan kedua mataku saat hidung kami sudah saling bersentuhan. Lalu seketika hanya sebuah kecupan di kening. Aku hanya tersenyum malu-malu. Aku sempat berpikir mungkin Mas Fikri akan-
"Bagaimana kalau kita ke Ancol?"
"Ancol?"
"Hm. Mau?"
Lalu aku terdiam. Aku pikir Mas Fikri tadi akan mencium diriku. Padahal aku sudah pasang dingin deg-degan. Aku menatap Mas Fikri lagi.
"Ancol itu apa?"
Mas Fikri menatapku beberapa menit. Aku memang tidak tahu Ancol itu apa. Seketika tawa Mas Fikri yang terbahak terdengar. Aku menoleh ke samping, Mas Fikri tertawa terpingkal-pingkal sampai memegang perutnya.
"Memangnya ada yang lucu Mas? Apakah Ancol itu tempat lawak?"
"Allahuakbar Afrah... Tidak."
"Lalu?"
"Kamu lahir tahun berapa sih? Sekarang jaman sudah canggih loh. Ada internet. Televisi. Media berita. Masa kamu tidak tahu Ancol?"
Aku menggeleng lemah. Aku menatap miris hidupku yang kurang mengetahui moderenisasi dan teknologi yang canggih.Ya memang mau bagaimana lagi? Tapi aku janji. Aku akan belajar. Sesuai pesan Mas Fikri setelah menikah dengannya.
"Maafin Afrah. Afrah tidak tahu. Sejak kejadian bangun dari koma Ayah dan Bunda melarang Afrah keluar rumah. Katanya bahaya."
"Jadi apa yang kamu lakukan selama ini?"
"Waktu di Aceh, Afrah akan keluar rumah ketika ada pengajian mingguan di mesjid dan menemani Ibu kepasar. Setelah itu Afrah dirumah, selama dirumah Afrah menghabiskan waktu dengan ibadah, membaca novel, memasak, tidur. Itu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ana Uhibbuka Fillah
RomanceFikri Azka menyukai Devika sejak lama dan berniat menikahinya di masalalu. Pernikahan mereka akan berlangsung dalam waktu dekat. Tapi sayangnya, Allah berkehendak lain. Devika meninggal saat kecelakaan mobil yang di kemudikan oleh Reva, sahabat Fikr...