Aku melihat Ayah yang kini dengan santainya menyeruput teh hangatnya setelah aku mensajikannya didepan beliau.
Saat ini aku dan Ayah sedang duduk di ruang tamu. Ayah masih bersikap santai. Di tangannya ada sebuah koran harian yang sudah Ayah sejak tadi dan mengabaikanku.
Aku merasa tidak sabar. Alhasil aku beralih duduk di bagian bawah dekat lutut Ayah. Dengan manja aku menumpukan daguku pada pahanya.
"Ayah."
"Hm."
"Ikut ya."
Ayah menutup korannya. Lalu menatapku. "Kemana?"
"Ke Jakarta Ayah. Afrah ingin ikut kesana."
"Kamu dirumah aja nak. Sama ibu. Lagian Ayah kesana itu bekerja. Bukan santai-santai."
"Tapi Yah, Afrah pengen tahu kota Jakarta. Ya, ya, ya? Hm? Afrah janji tidak akan nakal."
Bukannya menjawab. Ayah hanya mengusap kepalaku. "Dirumah aja ya sama Bunda. Ayah disana mencari rezeki buat kita."
"Lagian besok malam ada pria lain kesini. Katanya mau lihat kamu."
Suara Bunda yang tiba-tiba terdengar membuatku menoleh kearahnya. Aku hanya mencoba sabar.
"Ngapain Bun? Mau lamar Afrah lagi?"
Bunda menghedikan bahu. "Mungkin. Berdoa saja semoga cocok."
"Bundaaaaa. Afrah belum mau menikah. Afrah pengen sendiri dulu. Afrah juga belum siap."
"Kenapa kamu menolaknya? Tidak baik menunda pernikahan. Apalagi kamu wanita. Tidak selamanya Ayah saya Bunda bisa menjaga kamu."
Seketika aku terdiam. Bunda benar. Setiap bulan ada saja para pria datang melamarku. Sebenarnya aku bersyukur. Tapi ntah kenapa begitu melihat salah satunya, aku merasa tidak cocok. Kurang sreg di hati.
Oke, aku memang belum menjalaninya tapi tetap saja hati tidak bisa berbohong kan?
"Apakah ada pria lain yang kamu suka?"
Lalu pertanyaannya Bunda membuatku kembali menoleh kearahnya. Tiba-tiba aku teringat sosok pria beriris biru itu. Pria blasteran yang sebenarnya membuatku penasaran tentang namanya.
Buru-buru aku menepisnya. "Tidak ada Bun. Em apakah Afrah boleh ikut ke Jakarta bersama Ayah?"
"Kalau Ayah bekerja, kamu disana sama siapa? Bunda tidak izinkan kamu apalagi sendirian."
"Bunda-"
"Ini perintah. Apakah kamu berusaha menjadi anak yang tidak menurut?"
Lalu aku terdiam. Rasanya begitu sedih. Tapi aku bisa apa? Alhasil aku hanya menudukan wajahku. Aku berpindah posisi dengan berdiri.
"Maafin Afrah Bun. Afrah janji tidak akan pernah begini lagi."
"Kamu masuk kamar ya. Lekas ambil air wudhu. Sebentar lagi sholat Magrib akan tiba."
Aku hanya mengangguk dan segera menuju kamarku. Dengan langkah berat aku menaiki anak tangga.
"Ya Allah. Sesungguhnya hamba begitu sedih. Semoga Allah memberi hamba kesabaran atas semua ini. Hamba akan menerima apapun jika itu semua adalah yang terbaik untuk hamba. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang hamba tidak ketahui."
🥀🥀🥀🥀
Surah Al-khafi ayat 1-10
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
KAMU SEDANG MEMBACA
Ana Uhibbuka Fillah
RomantikFikri Azka menyukai Devika sejak lama dan berniat menikahinya di masalalu. Pernikahan mereka akan berlangsung dalam waktu dekat. Tapi sayangnya, Allah berkehendak lain. Devika meninggal saat kecelakaan mobil yang di kemudikan oleh Reva, sahabat Fikr...