*****
Vila Cendana. Pukul 09.00 pagi.
Setelah menyelesaikan semua urusan pekerjaan rumah, aku memilih kekamar Mas Fikri saat ini juga. Aku sedikit bernapas lega karena sudah membantu Bunda mertuaku memasak tadi pagi untuk sarapan sekeluarga.
Sisanya, Bunda malah menyuruhku beristirahat. Padahal aku ingin membantunya lagi, tapi Bunda melarangku. Katanya aku harus banyak istirahat dan tidak stress supaya cepat hamil.
Aku tersenyum tipis menanggapi hal itu. Tapi tidak dengan hatiku. Bagaimana kehamilan bisa terjadi kalau dia saja tidak pernah menyentuhku?
Padahal berhubungan badan dengan status pernikahan yang sah itu adalah kebaikan dan mendapatkan pahala. Tidakkah Mas Fikri ingin memperoleh pahala itu?
Aku menarik napas sejenak dan menghembuskannya secara perlahan. Hatiku memang terluka. Tapi aku berusaha untuk beristighfar agar tetap tenang dan mengingat Allah.
Jika aku tidak seperti itu, Naudzubillah min dzalik jangan sampai aku seperti wanita-wanita yang pembangkang sama suaminya dengan amarah yang memberontak bila diperlakukan seperti itu.
Padahal aku bisa saja marah karena biar bagaimanapun aku hanyalah manusia biasa yang memiliki hati. Apalagi aku adalah seorang wanita yang menggunakan perasaan.
Mungkin ini hanyalah masalah waktu yang belum tepat terhadap situasi yang tidak baik ini. Jika situasinya tepat, aku yakin Mas Fikri akan berubah secara perlahan dan segera bertaubat terhadap kesalahannya karena dia sudah mendzolimi perasaanku sebagai seorang istri.
Aku mengedarkan pandanganku keseluruh kamar Mas Fikri yang ditempati sejak usia kecil hingga sekarang meskipun setelah lulus kuliah kata Bunda Mas Fikri ke Jakarta.
Aku melangkah kakiku ke arah meja. Diatasnya ada beberapa benda koleksi milik Mas Fikri. Ada buku-buku tentang dunia bisnis, Komik, miniatur robot kecil, dan benda-benda lainnya.
Tanganku terulur arah laci meja. Ntah dorongan dari mana aku membukanya. Aku mengerutkan dahiku, didalam sana ada sebuah buku yang sedikit berdebu.
Aku meraihnya dan membukanya. Oh rupanya ini adalah buku Mas Fikri waktu kuliah. Aku tersenyum tipis. Mas Fikri itu tampan. Wajahnya blasteran. Iris matanya berwarna biru. Otaknya juga cerdas. Tapi kenapa tulisannya seperti cakar ayam?
Halaman demi halaman aku membukanya. Aku begitu paham semua isi tulisannya kali ini yang membahas tentang mata kuliah Ilmu Komunikasi.
Tiba-tiba aku terkejut. Tanpa diduga aku menemukan selembar foto di pertengahan buku. Lagi-lagi hatiku terluka. Sebuah foto wanita berhijab. Foto yang pernah aku lihat dan terpajang di atas meja kerja Mas Fikri di D'Media Corp sebulan yang lalu.
Foto ini terlihat usang meskipun dengan jelasnya wajah wanita ini memang cantik dan sedang tersenyum memakai seragam madrasah putih abu-abu.
Lalu aku terdiam begitu membalik bagian belakang foto ini. Tertulis disana. Namanya Devika. Aku merasa familiar dengan wajah ini. Seperti pernah melihatnya dimasalalu sebelum kata Mas Fikri dia meninggal. Tapi dimana?
Brak!
"Om Fikri! Om Fikri! Lihat, keponakan mu yang tampan ini-"
Aku terkejut dan menoleh kebelakang begitu pintu terbuka lebar. Seorang anak kecil berusia 5 tahun berdiri di ambang pintu. Wajahnya sangat tampan. Ras blasteran. Iris mata berwarna biru. Ah aku tahu siapa dia. Dia keponakan Mas Fikri yang pernah aku lihat saat acara resepsi pernikahanku di Jakarta. Namanya Raihan.
Dengan cepat aku memasukkan foto Devika ini kedalam buku lalu mengembalikannya kedalam laci meja.
"Maaf. Rai kira ada Om Fikri. Dimana dia Tante?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ana Uhibbuka Fillah
RomanceFikri Azka menyukai Devika sejak lama dan berniat menikahinya di masalalu. Pernikahan mereka akan berlangsung dalam waktu dekat. Tapi sayangnya, Allah berkehendak lain. Devika meninggal saat kecelakaan mobil yang di kemudikan oleh Reva, sahabat Fikr...