24. Keputusan Suri

2K 378 30
                                    

Begitu Suri membuka mata, dirinya langsung mengerang kesakitan karena kepalanya begitu pusing. Suri berusaha meraih ponsel yang ia lempar sembarang di kasur, yang ia lihat pertama kali adalah rentetan missed call dari Sagi, tapi tidak ada satupun pesan dari lelaki itu.

Suri lalu melihat jam di ponselnya, sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Suri menghela napas, meletakkan ponselnya begitu saja dan menarik selimut tinggi-tinggi untuk menutupi dirinya yang bahkan masih tertidur dengan seragam sekolah kemarin.

Tadi malam Suri menangis dengan kencang, meluapkan segala emosinya yang sempat terlupakan karena Gilang berhasil menghiburnya. Tapi di dalam sepi ketika sendiri, membuat Suri teringat semua rasa kesalnya kembali pada Sagi.

Mencintai seseorang ternyata memang tidak boleh sedalam ini. Karena begitu kecewa, maka rasa sakitnya begitu luar biasa.

Suri membiarkan ujung bibirnya terus berdenyut. Apalagi mengingat sorot mata marah Sagi dan pukulan Sagi tanpa sengaja—yang entah kenapa tetap saja mengingatkan Suri dengan kasarnya sifat papa.

Suri tidak suka lelaki kasar, dan Suri tidak suka dengan sifat kasar Sagi seperti itu. Sagi mudah sekali tersulut emosi dan susah mengontrol emosi. Jadi, apa bedanya Sagi dengan papa?

"Non?" Bibi asisten rumah tangga Suri yang baru datang membuka pintu kamar. "Loh, non Suri nggak sekolah?"

Suri menggelengkan kepalanya, menaikkan selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya agar bibi tidak melihat bekas luka di ujung bibirnya. Bisa gawat kalau bibi nanti melapor pada tantenya atau papa.

"Ih, malah ditutupin. Non sakit ya?"

"Suri mau tidur ih, bi. Bibi diem."

"Ada temennya tuh non di bawah."

Suri mengernyit, jangan bilang itu Sagi. "Kalau Sagi suruh pergi aja. Suri nggak mau ketemu Sagi, bi."

"Bukan kok, non." Ganti bibi yang heran. "Siapa ya tadi namanya. Gil, Gil—"

"Gilang?" Suri menurunkan selimut sampai ke hidungnya saja, menatap bibi.

"Nah! Ganteng banget, non."

Suri berdecak dan memunggungi bibi. "Suruh pulang aja. Kepala Suri pusing, nggak mau ketemu siapa-siapa."

"Tapi, non. Kasihan udah datang jauh-jauh."

"Udah sana Bi, suruh pulang aja." Suri mengerang malas dan akhirnya bibi keluar. Tapi tak lama kemudian Suri mendengar pintu kamarnya terbuka lagi. "Bi, ih! Udah Suri bilang keluar aja."

"Ditutupin gitu badannya emang enggak engap?"

Suri mengenali suara itu, dia langsung menyibakkan selimutnya dan menatap Gilang yang hanya diam menatapnya. Gilang cukup tercenung menatap pipi Suri yang kini lebam dan ada bekas darah di ujung bibirnya, bahkan tak separah pipi kanan Gilang yang tadi malam di tonjok Sagi.

Gilang mengernyit. "Baru bangun? Dan nggak mandi habis pulang tadi malam?"

Suri masih terduduk diam, murung menatap Gilang.

"Nangis lo ya semaleman?" goda Gilang sambil menunjuk-nunjuk Suri.

"Gilang, apaansih," Suri merengek kesal.

"Mandi dulu sana. Gue bawa ketoprak. Enak banget!"

Suri diam untuk sejenak. Begitu mendengar kata 'ketoprak' perutnya langsung bergejolak. Lalu berbunyi keras hingga Gilang terbahak. Suri lapar benar ternyata.

***

Suri melipat kedua kakinya di sofa, berhadap-hadapan dengan Gilang yang sedang mengompres pipinya dengan kantung berisi es batu.

WanderlovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang