Bandara memang menjadi salah satu tempat yang tidak akan pernah sepi. Hiruk pikuk orang di sekeliling Suri untuk sejenak membuat langkah kakinya terhenti di satu titik untuk menamati orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Sangat ramai, sampai Suri bingung harus menunggu Gilang dimana.
Gilang pulang hari ini dari Singapura untuk menjenguk neneknya yang sedang sakit. Gilang sendiri sudah berada selama satu minggu di Singapura. Lelaki itu bilang tidak usah dijemput—bahkan tidak mau Suri menjemputnya, katanya Gilang tidak mau merepotkan Suri. Tapi memang dasarnya saja Suri yang ingin menjemput Gilang dan Suri ingin bolos sekolah.
Iya, Suri bolos sekolah. Matanya terlalu sembab dan wajahnya terlalu kuyu untuk Suri yang biasanya menyapa teman-temannya di sekolah. Membaca surat dari Sagi membuat Suri tidak bisa berhenti menangis.
Suri menangis semalaman, tengkurap di kasur dan membekap tangisannya agar ayahnya atau bibi tidak mendengar Suri yang menangis sesenggukan. Suri menangis hingga kepalanya pusing dan ia tertidur sendiri.
Suri menghela napas dan melanjutkan langkah kakinya sambil menaikkan pergelangan tangan kanannya. Layar smartwatch Suri langsung menyala dan menunjukkan angka pukul setengah sembilan pagi. Masih satu jam lagi Suri menunggu kedatangan Gilang.
Dan ketika melintasi restoran Jepang di dalam bandara, Suri tertarik oleh seorang lelaki yang sedang menyeruput kuah ramen. Seketika perut Suri langsung bergejolak minta diisi dan air liur rasanya memenuhi rongga mulutnya. Galau memang menyertai raga Suri, tapi soal makanan juga tetap nomor satu—jadi yang utama.
Suri melangkah memasuki restoran Jepang itu, membuka masker yang menutupi mulut dan hidungnya ketika di depan kasir dan menyebutkan pesanannya.
Suri kemudian kembali duduk, memainkan ponselnya untuk membalas chat yang masuk dari teman-temannya sekalian sambil menunggu kabar dari Gilang. Sampai kemudian ramen dan gyoza yang dipesannya datang, Suri memilih meletakkan ponsel dan makan sendiri.
Sambil mengunyah dengan pelan, Suri menatap ke sekitarnya, memperhatikan orang-orang lain. Di bandara juga banyak orang yang makan sendiri, maksud Suri, duduk di meja sendiri dan makan seorang diri tanpa ada yang menemani.
Dari dulu Suri tidak pernah suka makan di tempat umum sendirian, aneh rasanya. Tapi sekarang mau tidak mau Suri harus menghadapi perasaan 'aneh' itu. Suri juga tidak suka nonton bioskop sendirian, ia tidak pernah nonton bioskop sendirian seingatnya.
"Ah," Suri menjulurkan lidahnya ketika lupa meniup kuah panas ramen yang sedang dimakannya, melainkan langsung melahapnya begitu saja. Suri segera mengulum bibir, menyeruput ocha yang dipesannya.
Dan kemudian terdiam lagi sambil menatap ramennya yang masih mengepulkan asap.
Suri tiba-tiba ingat kalau ia pernah nonton bioskop sendirian. Itu karena Sagi tiba-tiba meninggalkannya begitu saja demi Nayla. Malam itu ketika menonton bioskop, Sagi memberikan gelang bertuliskan namanya Surinala yang terukir indah di gelang itu.
Gelang yang Suri kembalikan ke Sagi karena rasa kecewanya yang besar. Rasa kecewa yang berubah jadi sesal, sesal yang kemudian berubah jadi rindu.
Lalu rasanya seperti halusinasi ketika Suri melihat lelaki yang mirip Sagi memasuki restoran Jepang ini sendirian. Dengan celana hitam dan sabuk hitam, serta kemeja bercorak hitam putih yang dimasukkan kedalam celana, lelaki itu melangkah ke kasir dengan santainya.
"Nggak," Suri langsung menutup matanya dengan telapak tangan kanan. "Nggak mungkin itu Sagi, dia kan sudah berangkat ke Jerman kemarin sore."
Suri mendecih kecil, kesal karena halusinasi-nya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wanderloved
Fiksi Remajawanderloved (n) person still confused about the feelings and still likes adventure about love. Wanita pasti terkenal dengan sikap jaim dan sungkan mengungkapkan perasaannya pada seseorang yang dia suka. Namun hal itu tak berlaku pada Surinala. Seja...