35. Titik Pisah

1.7K 399 57
                                    

Beberapa masih bertahan memberi semangat

Namun beberapa memilih meninggalkan disaat kita kesusahan

Semua nanti akan terlihat, disaat masalah merundung datang

-Wanderloved

---

Sagi duduk di ruang tunggu sebelum gilirannya masuk untuk sidang putusan berikutnya. Sagi menghela napas dan menatap papanya ketika menutup pintu ruangan—lalu menyeret kursi dan duduk dihadapan Sagi.

"Sudah kapok kamu di penjara lagi?" tanya-nya penuh penekanan. "Kali ini Papa membiarkan kamu di penjara lebih lama! Biarlah kamu mau jadi apa setelah pernah menjadi napi."

"Astaga, Pa!" Ayaka Soedirja—Mama Sagi langsung menegur suaminya itu. "Sagi butuh dukungan saat ini."

Sagi menunduk diam, melihat tangan hangat Mamanya yang menggenggam telapak tangan dinginnya. Rahang Sagi mengeras, menahan rasa amarah pada diri sendiri. Entah kenapa perasaan bersalah pada kedua orangtuanya semakin besar saja.

Selama ini mata Sagi seolah tertutup, tidak bisa melihat bahwa senakal apapun dirinya, seorang wanita dihadapannya ini, yang melahirkannya, akan tetap ada di depan Sagi. Akan tetap menggenggam telapak tangan Sagi dengan hangat, sebesar apapun kesalahannya.

Bohong jika Sagi akhirnya tak menyesal. Bohong jika Sagi tidak merasa bersalah ketika melihat Mamanya membekap mulut dan menangis ketika memunggungi Sagi dan berjalan menjauh keluar dari ruang jenguk tahanan.

Dan kemudian, pintu ruang tunggu terbuka. Sagi melihat anak emas keluarga Soedirja itu kembali lagi. Dia masih seperti remaja pada umumnya, namun lebih rapi, lebih terlihat berwibawa, lebih sopan, dan lebih hebat segalanya dari Sagi.

"Rayan boleh ngomong berdua sama Sagi?" tanya Raya meminta persetujuan dari Papa dan Mama Sagi.

Keduanya lalu mengangguk, Sagi dapat melihat Papanya menepuk dan meremas pelan pundak Rayan—seperti mempercayakan semuanya pada keponakannya itu. Dan Sagi mendengkus, antara kecewa dan merasa lucu oleh segala kebodohan ini.

Begitu pintu tertutup, Rayan langsung berdecak keras dan mendorong kursi yang di duduki Sagi dengan keras sampai Sagi hampir terjerembab.

"Goblok banget sih lo." Umpat Rayan.

"Anjing." Balas Sagi.

Rayan menggigit pipi bagian dalamnya, benar-benar dongkol dengan sepupunya ini. Lalu duduk dihadapan Sagi yang menyipit tidak suka. Seharusnya mereka saling bertukar kabar, menanyakan kabar masing-masing dan membahas banyak hal.

Tapi sekarang, rasanya tidak ada yang ingin diungkapkan. Rayan tidak suka melihat sepupunya seperti ini.

"Percuma gue nyalah-nyalahin lo sekarang." Kata Rayan.

"Emang." Sagi menatapnya malas. "Mau lo ngehina-hina gue dan ngomel sampai mulut lo berbusa dan ludah lo muncrat-muncrat ke muka kaya bokap gue, juga bakal nggak mempan."

"Batu banget sih lo, bego." Rayan lalu merogoh saku celana jeans-nya dan melemparkan benda yang dibawanya tadi.

"Ini—" Sagi menangkap benda itu, gelang white gold dengan ukiran nama Surinala. "Kenapa bisa ada di elo?"

Rayan bergeming, bingung harus bilang darimana.

Sedangkan dada Sagi langsung terasa sesak ketika mengusap nama yang terukir di gelang itu. Suri tidak pernah datang atau menitip pesan pada siapapun sejak Sagi ditangkap polisi dan di penjara.

WanderlovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang