28. Mama

2K 399 39
                                    

Suri memilih duduk di sebuah warung dengan tenda di sekitar terminal setelah sampai di Kulon Progo. Suri baru saja meminum obat pereda pusing yang Sagi belikan di salah satu warung setelah mereka sampai.

Musik dangdut koplo yang disetel keras selama satu setengah jam lebih perjalanan ternyata memang tidak cocok untuk anak kota seperti Sagi dan Suri. Apalagi Suri. Begitu turun dari bus, Suri rasanya sangat mual dan pusing—seperti mabuk kendaraan.

Dari jauh, Suri melihat Sagi sedang berbicara dengan beberapa kondektur bus untuk menanyai jalan. Kemudian Sagi berlari kecil menghampiri Suri dan berdiri dihadapannya.

"Kalau mau ke Banaran, kita oper bus." Kata Sagi dengan napas tersenggal. "Naik bus lagi gitu, kira-kira setengah jam lah."

Suri belum-belum sudah merasa mual mengingat bau bus lagi. "Nggak ada alternative lain selain naik bus lagi?"

"Naik ojek." Sagi lalu melemparkan tatapan kearah pangkalan ojek. "Tadi gue ditawarin naik ojek. Tapi lebih mahal dari bus, panas banget lagi sekarang." Sagi kemudian menepuk puncak kepala Suri. "Udah mendingan pusingnya?"

"Lumayan."

"Yaudah, kita istirahat dulu aja disini. Nanti ada bus berikutnya kok ke Banaran. Tenang aja. Daripada lo kenapa-napa nanti di bus."

Suri lalu menarik tangan Sagi agar duduk di bangku panjang yang ada disampingnya. "Duduk, Gi."

Sagi lalu duduk, tapi tatapannya mengarah lurus. Seperti memikirkan sesuatu. Hingga Sagi merasakan genggaman erat Suri di telapak tangannya, membuat Sagi menoleh menatap Suri.

"Sagi marah?" tanya Suri dengan perlahan. Tatapannya terlihat khawatir.

"Kenapa harus marah?"

Ganti sekarang Suri yang mengernyit. "Setelah Gilang telepon dan berakhir Suri ngatain Sagi childish, terus Sagi diem aja sampai di Kulon Progo. Sagi marah ya? Maaf ya kalau ucapan Suri bikin Sagi sakit hati."

Tapi Sagi malah mendengkus geli. "Omongan lo nggak salah kok. Gue memang childish, efek sering dimanja sama keluarga kali ya? Karena gue selalu dapat apapun yang gue inginkan sekaligus, semuanya jadi terasa mudah. Gue jadi suka meremehkan orang lain, bentak-bentak orang sesuka gue, menyelesaikan semuanya pakai emosi dan berantem."

"Tapi kenapa Sagi jadi diem aja setelah itu?"

"Karena gue nggak pengen kita berantem, Suri." Sagi tersenyum lembut, membuat Suri tak bisa mengalihkan pandangan dari senyumannya. "Percuma kalau orang emosi dibalas sama emosi. Lo lagi marah, jadi gue lebih milih diem. Bagaikan menyediakan air danau buat api yang berkobar."

"Apaansih!" Suri meninju lengan Sagi dan Sagi sontak terbahak sambil mengusap lengannya.

"Gue nggak mau lo marah sama gue lagi. Dan gue nggak pengen kita berantem lagi. Bisa?"

"Tergantung." Jawab Suri sambil mengerucutkan bibirnya.

"Tergantung apa?"

"Tergantung keadaan. Disini tuh yang labil masih Sagi, kadang-kadang Sagi nyebelin, kadang-kadang nyenengin."

"Kalau sekarang lagi dalam keadaan apa?" tanya Sagi lagi. Tapi Suri malah melepaskan genggamannya dari Sagi dan lebih milih tak menjawab. Hingga Sagi mendekatkan wajahnya kearah Suri dan menggodanya. "Lagi di fase nyenengin, kan?"

Suri hanya tersenyum kecut ketika Sagi terus menggodanya dan sesekali mencubit pipi dan hidungnya. Suri memang tidak bisa tahan lama-lama menganggap Sagi menyebalkan. Nyatanya, Sagi selalu berhasil membuat suasana hatinya lebih baik.

WanderlovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang