Lidya masih memikirkan tentang kalimat yang dilontarkan oleh Abi beberapa hari yang lalu. Entah kenapa, ia sulit untuk menjawab pertanyaan Abi itu, padahal hatinya sudah berteriak ingin menerima tawaran Abi.
"Kenapa waktu itu nggak aku terima langsung aja ya? Kenapa harus ngasih dia waktu?" gumam Lidya pada dirinya sendiri, saat ia sedang berada di cafe tempat ia dan Faiq sepakat untuk bertemu. "Bukannya selama ini tuh dia yang aku incer? Kenapa setelah orangnya ngerespon, aku malah jadi kayak gini?"
"Dek!"
Lidya terperanjat saat ada tepukan di bahu kirinya. Ia langsung menatap tajam ke arah Faiq yang sudah duduk di sisi kirinya dengan santai. "Apaan sih, mas? Ngagetin aja!"
Faiq mengerutkan keningnya menatap Lidya. "Sekaget itu? Padahal mas nepuknya pelan lho." Ia menatap Lidya yang sedang menatap sebal ke arahnya.
"Mas tuh ganggu!"
Faiq semakin tak mengerti dengan kalimat adiknya itu. "Apaan sih? Kalau ngomong tuh yang jelas!" Ia kemudian mengutak-atik handphonenya, sambil bersandar di sandaran kursi.
Lidya mencibir. Enggan menanggapi kalimat kakaknya itu, dan lebih memilih mengambil kaca di dalam tasnya, kemudian memperhatikan makeup yang ada di wajahnya.
"Dek."
"Hmm."
"Dek."
Lagi. Lidya hanya membalas panggilan dari kakaknya itu dengan gumaman karena ia sibuk dengan kaca di tangannya.
"Kalau dipanggil tuh nyaut!" omel Faiq yang mulai geram.
Lidya meletakkan kacanya di atas meja. Tepat di samping handphone Faiq. "Apa sih, mas? Tadi ngagetin. Sekarang marah-marah nggak jelas kayak gini. Maunya apa sih?"
"Kamu itu yang maunya apa?"
Lidya mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan kakaknya. "Mas tuh kenapa sih? Kalau ada masalah di kesatuan tuh mbok ya di selesaiin. Jangan malah aku yang jadi sasaran kemarahan mas!"
"Emang yang jadi masalah mas tuh kamu!" tegas Faiq, sambil menatap Lidya tajam.
"Kok aku?" Lidya menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, kamu!" balas Faiq. "Sejak kapan kamu jadi hobi dandan sama ngaca kayak gini?" Ia kemudian membanting kaca di atas meja yang baru saja di ambil oleh Lidya.
"Ya suka-suka akulah, mas." jawab Lidya cuek. Ia kemudian mengambil kacanya, dan kembali memperhatikan wajahnya. "Bukannya bagus, kalau aku jadi suka makeup? Kan cowok-cowok tuh suka sama cewek yang pake makeup, mas."
Faiq mengerutkan keningnya. "Siapa cowok yang lagi kamu suka?"
"Cowok?" Lidya membeo. "Nggak ada. Aku nggak lagi suka sama siapa-siapa." Ia kembali memperhatikan tampilan ajahnya di dalam cermin.
"Jangan-jangan karena cowok itu kamu berubah ya? Karena cowok itu kamu jadi berjilbab dan pake makeup? Iya, dek?"
"Apa sih, mas?" sergah Lidya. "Aku tuh berjilbab karena diri aku sendiri. Aku berubah juga karena diri aku sendiri bukan karena orang lain. Jadi, mas jangan asal kalo ngomong."
"Berubah karena diri kamu sendiri, kamu bilang?" ulang Faiq. "Mas hafal betul siapa kamu. Bahkan kamu tuh dulu nggak suka sama yang namanya makeup. Kamu juga nggak suka pake rok. Kemana-mana lebih suka pake celana sama kaos."
Lidya tergagap. Ia berusaha membantah kalimat kakaknya itu. "Ya emang nggak boleh, kalau aku sekarang mau jadi feminim? Hak aku dong, mau pake baju apa aja. Emang kalau misalnya aku sekarang suka pake pakaian yang feminim, pake rok, itu semua ngerugiin mas? Iya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful People #2
RomanceKisah seorang Perwira Angkatan Darat, yang seakan menjaga jarak dengan para gadis yang mencoba mendekatinya Akankah ada gadis yang mampu meluluhkan hatinya yang seolah membeku itu? . . . . Sequel 'Crossing THE POLICE LINE' tapi kalau misalnya nggak...