DUA PULUH TUJUH

3.1K 246 13
                                    

"Danang sendiri, gimana? Kamu maunya nikahnya kapan? Terus, kapan kira-kira jadwalmu sedikit longgar di Kesatuan, le?"

Danang seperti berpikir sambil menatap Zaenal. "Sejauh ini belum ada instruksi dari Komandan, yah. Insya Allah Indonesia aman."

Seketika semua orang mengaminkan doa Danang itu.

"Jadi, kamu maunya kapan, le?"

Kali ini Danang yang duduk di samping kanan Faiq menatap Royan. "Maaf sebelumnya. Ini hanya pendapat Danang, mengingat ada beberapa berkas yang juga harus di urus, juga menunggu jadwal sidang di kantor. Bagaimana kalau pernikahannya di adakan dua atau tiga bulan lagi? Tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lama, jadi semoga nantinya tidak muncul fitnah dari orang lain."

"Ada tanggal khusus, le, yang kamu minta?"

"Untuk tanggal, tidak ada, pak. Mungkin dari pihak Ayah Zaenal, ada permintaan tanggal khusus?"

Zaenal tampak berpikir. Ia kemudian menatap Lidya. "Kamu ada keinginan mau nikah tanggal berapa, dek?"

Lidya memberanikan diri menatap ayahnya, juga Royan bergantian. "Kalau tanggal 26 dua bulan lagi, apa semuanya setuju?"

"Ada alasan khusus kenapa kamu memilih tanggal itu, nduk?" tanya Royan.

Lidya menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak ada, pak. Cuma kalau sesuai permintaan Mas Danang yang meminta tanggal pernikahannya dua sampai tiga bulan lagi, tanggal 26 dua bulan lagi itu tepat dua setengah bulan, jadi sesuai permintaannya Mas Danang. Mohon di koreksi, atau monggo jika keluarga dari Mas Danang mau mengajukan tanggal lain."

Royan menatap Danang, istrinya, kemudian Kayva dan Dimas yang saat itu juga ikut bersama mereka. Mencoba meminta pertimbangan dari mereka, tentang tanggal yang di ajukan Lidya itu.

"Sepertinya dari keluarga kami tidak mempermasalahkan, jika pernikahan itu jatuh pada tanggal 26, Pak Zaenal, sesuai permintaan Lidya." jawab Royan pada akhirnya.

"Alhamdulillah kalau begitu, pak. Sekarang, untuk tempat dan acaranya. Mau di adakan dimana, dan seperti apa? Kalau saya boleh jujur, saya manut saja Pak Royan mau mengadakan acaranya seperti apa. Tapi saya cuma minta akad nikahnya pagi, sebelum acara walimatul 'ursy di gelar. Bagaimana menurut bapak dan keluarga?" Zaenal menatap Royan, meminta persetujuan.

Royan mengangguk mengerti. "Saya setuju, pak, untuk masalah akad. Karena lebih baik acaranya langsung di jadikan satu hari saja, jadi sekalian capeknya ya hari itu, nggak nyambung hari lagi."

Seketika semuanya terkekeh mendengar jawaban Royan itu.

"Mungkin dari pihak pengantinnya, ada usulan lagi? Mau acara yang seperti apa?" tanya Royan.

"Mohon maaf, kalau Danang boleh meminta, bagaimana kalau acaranya di adakan di rumah ini saja, pak, bu, yah?" tanya Danang. "Selain karena waktunya mungkin tidak memungkinkan untuk mencari gedung, karena Danang dan Dek Lidya juga pasti sibuk mengurus pengajuan kantor dan persiapan yang lain. Danang pikir, uang yang di gunakan untuk menyewa gedung bisa di alokasikan untuk keperluan yang lain, yang sifatnya jauh lebih penting. Lagipula, Danang pikir, di rumah selama yang menyiapkan bisa mengatur tempat dan dekorasinya, Danang pikir pasti mencukupi untuk menampung tamu undangan."

"Kalau soal dana, kan bapak bisa bantu, le. Jadi kamu nggak perlu khawatir." Royan menatap putra semata wayangnya.

Danang menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum. "Maaf, pak, bukannya Danang lancang. Tapi sudah menjadi keinginan Danang, jika suatu saat Danang menikah, Danang ingin membiayai pernikahan Danang sendiri. Tanpa meminta bantuan dari bapak, juga calon istri Danang siapapun itu. Dalam hal ini, Dek Lidya." Ia menggelengkan kepalanya. "Danang sama sekali tidak mau di bantu oleh pihak manapun. Toh kalau misalnya tabungan yang Danang miliki selama ini tidak cukup, insya Allah Danang masih yakin kalau Allah pasti akan mencukupkan kebutuhan Danang. Tapi Danang yakin, pak, tabungan Danang cukup."

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang