DUA PULUH LIMA

3.6K 252 17
                                    

Lidya masih menatap layar televisi tak percaya. Menatap objek yang sedang berada di layar datar itu dengan perasaan campur aduk.

"Mas, bilang sama aku kalau itu bukan Mas Danang." lirih Lidya, walaupun matanya masih fokus ke layar datar di depannya.

Faiq masih menatap layar televisi dan adiknya bergantian. Sama sekali tidak tahu harus menjawab pertanyaan adiknya itu dengan kalimat apa.

"Mas, jawab aku!" Lidya kini menatap Faiq dengan tajam.

Faiq menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap adiknya yang sedang kalut di rundung emosi itu.

"Kenapa mas nggak ngasih tahu aku? Kenapa mas nggak ngasih tahu aku, kalau Mas Danang ikut bantuin operasi pernyergapan kelompok bersenjata di Papua? Kenapa?" buru Lidya, setengah berteriak.

"Dek, biar di jelasin dulu sama mas." bujuk Zaenal, yang juga sedang menonton acara konferensi pers dari pihak TNI karena berhasil melumpuhkan kelompok bersenjata di tanah Papua.

"Tapi mas cuma diem aja dari tadi, yah. Nggak ngejelasin apapun sejak sepuluh menit yang lalu." protes Lidya pada Zaenal. Ia kemudian menatap kakaknya. "Mas mau ngejelasin, atau aku cari tahu sendiri?"

Faiq menatap adiknya dengan kening berkerut. "Kamu mau cari tahu sendiri? Gimana caranya? Nggak usah aneh-aneh kamu, dek."

"Mas." Zaenal menatap Faiq sambil menggelengkan kepalanya.

"Mas bilang kayak gitu, berarti mas mau aku cari tahu sendiri, kan?" Lidya kemudian bangkit dari duduknya. "Oke. Aku cari tahu sendiri!" Ia kemudian keluar ruang tengah mess yang ditempati Zaenal, tanpa menghiraukan panggilan dari ayahnya itu.

"Mas gimana sih? Kenapa nggak coba buat jelasin pelan-pelan ke adikmu? Kalau udah kayak gini, terus adikmu nekat, gimana?" Zaenal mencoba tetap bersabar menghadapi kedua anaknya itu.

"Bukannya mas nggak mau jelasin, yah. Tapi emang udah prosedurnya, nggak ada yang boleh tahu tentang tugas itu, bahkan pihak keluarga sekalipun. Mas juga nggak berhak buat jelasin sama adik, karena yang berhak jelasin semuanya itu Danang, yah. Dia yang lebih tahu detailnya." Faiq menatap Zaenal, mencoba meminta pengertian ayahnya itu. "Kalau tugasnya udah berhasil gini, kemungkinan Danang pasti pulang dalam waktu dekat kok, yah. Jadi dia bisa jelasin nanti di depan ayah, ibu, sama Dek Lidya."

Zaenal menghembuskan nafas kasar. "Kalau apa yang mas bilang itu benar, semoga Danang bisa jelasin sejelas-jelasnya nanti kalau dia pulang. Sekarang, yang terpenting nyoba buat bujuk adik kamu itu. Dia pasti naik sepeda ke lapangan tenis di depan kantor besar. Soalnya kunci motornya masih ayah bawa. Mau mas yang bujukin dia, atau ayah?"

Faiq menatap Zaenal bingung. "Kalau ayah yang bujukin adek, gimana? Mas mau nyoba buat telepon Komandan. Mau coba nanya gimana kondisi Danang di sana."

Zaenal mengerutkan keningnya. "Kenapa nggak coba buat telepon Danang langsung?"

Faiq menunjukkan layar handphonenya ke arah Zaenal. "Nomor Danang masih nggak aktif, yah. Perintah dari Komandan, biar anggota yang bertugas nggak bisa terlacak lewat signal handphone."

Zaenal bangkit, kemudian menatap Faiq. "Ayah nyusul adikmu dulu. Kalau sudah selesai, mas tolong jemput ibu ya?"

"Ibu dimana, yah?" tanya Faiq bingung. "Dari mas sampe sini, ibu nggak kelihatan sama sekali."

"Di pesantren Kyai Rois, bantuin di sana dari tadi sore. Besok kan ada acara khataman di sana, mas. Nanti kalau lewat gerbang barat yang langsung ke pesantren itu nggak bisa, mas lewat gerbang depan aja."

Faiq langsung menatap ayahnya seketika. "Muter-muter dong, yah? Emang gerbang barat nggak ada yang jaga?"

"Ya ada, mas. Tapi ini kan udah jam-jam patroli. Jadi yang jaga di gerbang barat juga pasti lagi keliling pabrik buat patroli."

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang