DUA PULUH DUA

3.5K 270 24
                                    

Lidya terdiam mematung. Merasa tidak di anggap sama sekali oleh Danang. Padahal tadi sudah jelas kalau Danang menatapnya, sebelum bergurau dengan Kayva. Sama sekali tidak seperti apa yang Lidya harapkan. Kenapa Danang bersikap seperti itu padanya? Kenapa Danang berubah?

Kayva yang menyadari mimik wajah Lidya berubah murung sejak kedatangan Danang dan sama sekali tidak menyapa Lidya, kini berusaha menegur Danang.

"Mas." panggil Kayva dengan suara sepelan mungkin.

"Dalem. Apa sih bisik-bisik?" tanya Danang, dengan suara normal, yang langsung membuat Kayva menatapnya tajam. "Apa?" ulangnya, dengan suara yang lebih pelan.

Kayva menunjuk Lidya dengan dagunya. "Itu. Nggak di sapa?"

Danang menggelengkan kepalanya. "Biarin aja."

Mendengar hal itu, hati Lidya seakan remuk redam. Ia merasakan sakit di hatinya, saat Danang malah mengabaikannya. Niatnya untuk meminta maaf pada Danang, kini seakan menguap begitu saja. Jangankan untuk memaafkannya, menatap wajahnya saja Danang enggan.

Akhirnya, Lidya mencoba tersenyum walau satu tetes air lolos dari matanya. Ia tersenyum ke arah Kayva yang menatapnya prihatin. Dan kemudian, tanpa mengucapkan sepatah katapun, Lidya membalikkan badannya, berniat pergi meninggalkan tempat itu.

"Mau kemana?" Tepat saat pertanyaan itu terdengar, pergelangan tangan kiri Lidya di genggam oleh seseorang.

Lidya menatap pergelangan tangannya. Menatap siapa pemilik tangan yang dengan beraninya menghentikan langkahnya, yang sudah amat sangat ingin segera beranjak dari tempat itu.

"Mas nanya, kamu mau kemana?" tanya Danang, dengan suara yang lebih lembut.

Lidya menghapus airmatanya dengan kasar. "Mau pergi. Bukannya mas nggak mau aku ada di sini?"

"Kata siapa?" tanya Danang bersidekap.

"Tadi bukannya mas sama sekali nggak mau aku ada di sini? Mas sama sekali nggak mau ngelihat, atau bahkan bicara sama aku. Terus kalau bukan karena mas nggak mau aku ada di sini, itu semua artinya apa?"

Danang justru terkekeh mendengar kalimat Lidya itu. "Makanya, kalau orang mau ngomong itu, di dengerin dulu."

Lidya mengerutkan keningnya. Bingung akan penjelasan Danang yang tidak lengkap.

"Mas tadi awalnya mau ngelihat reaksi kamu, kalau mas sama Kayva, kamu gimana. Eh belum mulai sandiwara, kamunya keburu nangis." jelas Danang.

"Aku nggak nangis ya!" sergah Lidya seketika.

"Terus itu mata sama hidung merah kenapa? Tadi juga ada yang matanya berair kok." Danang kembali bersidekap. "Masih nggak mau ngaku?"

Melihat Lidya terdiam dan Danang yang masih terlihat ingin menggoda Lidya, Kayva menghela nafas kasar.

"Ini waktunya udah mepet lho. Kalian masih mau berantem?" tanya Kayva.

Lidya terlihat kikuk. Bingung hendak menyampaikan apa. Padahal tadi sejak dari rumah, ia sudah merangkai kalimat permohonan maaf untuk Danang. Tapi sekarang? Ah sudahlah..

"Key, tolong pelukin dia buat mas." pinta Danang, sambil menatap Lidya dalam.

Kayva mengerutkan keningnya bingung. "Kenapa aku?"

Danang menatap Kayva tajam. Gemas sendiri dengan Kayva yang tidak mengerti alasannya meminta ia memeluk Lidya. "Masih nanya? Karena mas sama Lidya belum mahram. Lagipula ini di kantor mas. Bisa di hukum mas kalau macem-macem!"

"Oh gitu. Oke." Kayva langsung memeluk Lidya. "Pelukan ini mewakili Mas Danang ya, Lid."

"Mbak Lidya, Key." protes Danang, merasa tak terima dengan sapaan Kayva terhadap Lidya.

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang