DUA PULUH ENAM

3.2K 273 26
                                    

Mas Danang
Miss you more, sayang

Lidya masih menatap pesan itu berulang kali. Mencoba mempercayai bahwa yang mengirimkan pesan singkat itu memang Danang. Sampai akhirnya, selang beberapa saat, ketika ia sudah yakin bahwa yang mengirim pesan itu adalah Danang, Lidya juga menyadari bahwa airmatanya sudah membasahi pipinya. Mengalir deras, entah sejak kapan.

Zahra mengerutkan keningnya, begitu melihat Lidya menangis. Ia merangkul bahu anaknya itu, setelah menghapus airmata di wajahnya. "Kamu kenapa, sayang? Siapa yang hubungin adek? Kok anak ibu jadi nangis?"

Lidya menghapus sisa airmata di wajahnya, kemudian tersenyum menatap Zahra. "Mas Danang, bu. Alhamdulillah udah ngasih kabar ke adek."

Zahra tersenyum mendengar hal itu. "Alhamdulillah. Terus, Mas Danang juga ngasih tahu, jam berapa pesawatnya dari Jayapura?"

Lidya menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak, bu. Mas Danang nggak ngabarin kapan pesawatnya terbang. Mungkin benar, Mas Danang sampe Yonif nanti malam. Doain ya, bu, semoga Mas Danang baik-baik aja."

Zahra mengangguk. "Pasti, sayang. Ibu selalu doain yang terbaik buat anak-anak ibu, termasuk Mas Danang. Kamu yang sabar ya? Jangan pernah bosan buat doain Mas Danang."

Lidya mengangguk pelan. "Adek berangkat sekarang ya, bu? Takutnya nanti Bu Retno sama Pak Royan sampe Semarang lebih dulu. Nggak enak kalau mereka nungguin adek."

***

"Ini beneran nggak apa-apa, nduk, kalau bapak sama ibu nginep di sini? Nanti malah ngerepotin kamu."

Royan memasuki rumah Faiq di Semarang, sambil menatap Lidya yang kini tengah membawakan tas bepergiannya ke dalam rumah.

"Nggak apa-apa, pak. Kan daripada bapak sama ibu nginep di hotel atau penginapan cuma buat dua hari? Lagian, Lidya juga sendirian di rumah ini. Jadi kan bapak sama ibu bisa nemenin Lidya di sini." jawab Lidya. "Semoga bapak sama ibu nggak keberatan karena rumahnya sederhana seperti ini."

Retno merangkul bahu Lidya dengan sayang. "Rumah ini justru lebih bagus dari rumah bapak sama ibu yang di Pekalongan, nduk. Bapak sama ibu harus berterimakasih sama kamu, karena kamu sudah mau bapak dan ibu repotin selama bapak dan ibu di Semarang. Makasih ya, nduk."

Lidya mengusap tangan Retno yang ada di bahunya. Tersenyum, kemudian memeluk Retno dengan erat. "Harusnya Lidya yang bilang makasih sama ibu dan bapak. Karena ibu dan bapak sudah menerima Lidya, dengan segala kekurangan yang Lidya miliki. Makasih ya, bu, pak."

Royan mengusap kepala Lidya dengan sayang. "Kamu anak yang baik, nduk. Wajar kalau bapak dan ibu langsung nerima, bahkan langsung sayang sama kamu."

Lidya mengangguk pelan, sambil kembali mengucapkan terimakasih berulang kali. Ia kemudian mengurai pelukan itu, lalu menghapus airmata di wajahnya.

"Ibu sama bapak istirahat dulu aja ya? Lidya mau ke dapur dulu."

"Kamu mau ngapain ke dapur, nduk? Baru jam 2 siang." Royan mengerutkan keningnya.

"Tadi ada bahan-bahan kue yang ibu bawain, pak. Ibu katanya nggak sempet kalau buat kue lagi. Jadinya Lidya bawa aja. Siapa tahu nanti bapak dan ibu suka sama kue yang Lidya buat."

"Kamu mau buat kue apa, nduk?" tanya Retno.

"Ibu sama bapak, suka cara bikang, nggak? Rencananya mau buat kue itu." Lidya menatap Retno dan Royan bergantian. Merasa sungkan jika kedua orangtua Danang itu tidak menyukai kue yang akan ia buat.

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang