"Apa itu?"
Abi menatap Lidya. Mencoba meminta agar Lidya tidak menghakiminya lewat tatapan tajam itu. "Satu hal, yang bisa buat Afi nggak bisa jadi pendamping mas sebagai abdi negara."
"Iya, aku tahu. Tapi apa yang ada di diri Mbak Afi sampe nggak bisa jadi istri mas?" gemas Lidya.
"Mas nggak berhak ngasih tahu kamu. Karena itu urusan pribadi Afi. Kalau misalnya kamu mau tahu, mending kamu tanya langsung sama dia."
"Kalau begitu, artinya mas egois. Mas egois karena mas cuma mentingin diri mas sendiri, nggak mikirin gimana perasaan Mbak Afi waktu mas tinggalin dia karena alesan yang nggak jelas itu." ujar Lidya, dengan nafas yang memburu.
"Kamu salah." sergah Abi seketika. "Kita pisah baik-baik. Bahkan kita juga masih komunikasi walaupun nggak sesering dulu."
Lidya menatap Abi ragu. "Yakin?"
Abi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Heran dengan sikap Lidya. "Iya. Mas yakin dengan apa yang mas bilang. Mas masih komunikasi sama Afi sejak kita milih jalan buat pisah. Toh kita juga pisah baik-baik. Kenapa harus musuhan?"
"Tapi penjelasan mas itu nggak ngejawab pertanyaan aku tadi." Lidya kembali menanyakan hal yang sama. "Apa alesan mas, sampe mas sama Mbak Afi pisah?"
"Mas kan udah bilang berkali-kali sama kamu. Kalau soal itu, mending kamu tanya langsung aja sama Afi. Mas nggak berhak jelasin apa alesannya."
Setelah kalimat itu keluar dari mulut Abi, keduanya sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kalau misalnya nanti kita pisah, apa mas juga masih mau komunikasi sama aku?" lirih Lidya, sambil menatap Abi ragu.
Abi langsung menatap Lidya tajam. "Maksud kamu apa bilang kayak gitu?"
Lidya menggelengkan kepalanya, lalu menatap Abi dengan senyuman. "Apa kita masih komunikasi, kalau misalnya kita pisah nanti, mas?"
"Maksud kamu apa bilang kayak gitu? Kamu mau pisah sama mas?" tanya Abi.
Lidya kembali menghela nafas. "Mas, maaf sebelumnya kalau keputusan aku ini nyakitin hati Mas Abi."
"Jadi bener kamu mau kita putus? Kamu mau pisah sama mas?"
Lidya menatap Abi ragu, kemudian menganggukan kepalanya. "Iya, mas. Aku mau kita putus."
"Atas dasar apa kamu ambil keputusan itu?"
Hening. Keduanya sama-sama terdiam setelah pertanyaan itu keluar dari mulut Abi.
"Dek?"
"Keluarga aku nggak setuju sama hubungan kita." lirih Lidya, sambil menundukkan kepalanya.
"Apa?" Abi mengerutkan keningnya menatap Lidya. "Kenapa mereka nggak setuju? Aku bahkan belum kenal sama keluarga kamu. Kecuali kakak kamu yang bilang sama keluargamu tentang hubungan kita."
"Bukan Mas Faiq yang cerita, tapi keluargaku tahu sendiri!" sergah Lidya tegas. Ia lalu menyusul Abi yang kini berdiri bersandar di tiang teras. "Keluarga yang aku maksud di sini ketiga kakak aku, termasuk Mas Faiq."
"Berarti kakak-kakak kamu tahu tentang aku dari Mas Faiqmu itu?" Abi menengok ke arah Lidya, kemudian menatapnya. "Dengan sekali pertemuan, bahkan kakak kamu nggak mau ngasih aku kesempatan buat berjuang buat hubungan kita? Gitu?"
"Bukan soal itu, mas. Tapi ini soal kejujuran, dan komitmen yang udah aku pegang dari dulu."
Abi masih menatap Lidya yang kini menunduk. "Kejujuran? Kejujuran soal apa? Mas bahkan nggak minta kamu buat nggak jujur, kan, sama mereka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful People #2
Любовные романыKisah seorang Perwira Angkatan Darat, yang seakan menjaga jarak dengan para gadis yang mencoba mendekatinya Akankah ada gadis yang mampu meluluhkan hatinya yang seolah membeku itu? . . . . Sequel 'Crossing THE POLICE LINE' tapi kalau misalnya nggak...