TUJUH

3.5K 238 17
                                    

Lidya mengerutkan keningnya sambil menatap layar handphonenya yang baru saja menghubungkannya dengan Danang. Ia tidak habis pikir, kenapa Danang bisa memutuskan sambungan telepon itu, padahal ia belum selesai berbicara.

"Kenapa, dek?" tanya Abi, yang baru saja kembali dari toilet. Mereka kini sedang menikmati menu makan siang mereka di sebuah cafe, dekat dengan kampus Lidya, karena Lidya juga baru saja selesai menemui dosen untuk keperluan skripsi.

Lidya menatap Abi sekilas, sambil tersunyum. Meletakkan kembali handphonenya di atas meja. "Nggak apa-apa kok, mas. Cuma tadi telepon temen, tapi malah nggak di angkat."

"Temen kamu yang waktu itu?"

Lidya mengangguk. "Iya, mas." dustanya.

"Kamu habis ini mas anter pulang ya? Udah nggak ada kegiatan, kan?"

Lidya mengangguk. "Mas langsung ke rumah sakit lagi?"

"Iya. Ada pasien yang harus mas tangani." jelas Abi. "Nggak apa-apa, kan, kalau hari pertama kita pacaran tapi waktu kita malah nggak banyak gini?"

Lidya terkekeh mendengar kalimat Abi itu. "Ya nggak apa-apa lah, mas. Kan mas sibuk juga ada alesannya, karena mas ngebantu orang lain buat sembuh. Ya aku nggak masalah lah."

Abi tersenyum, lalu mengusap kepala Lidya dengan sayang. "Ah mas kayaknya beruntung banget jadi pacar kamu. Kamunya pengertian gini."

Lidya tersipu. "Udah ah, ayo pulang. Kalau kelamaan, bisa-bisa mas telat nanti."

***

"Kenapa sih, Nang, sampe harus kayak gitu?" tanya Faiq, sambil melirik tangan Danang yang tadi di gunakan untuk memukul pohon. "Ada masalah apa, sampe kamu mukul pohon gitu? Sampe berdarah lagi."

"Gimana ngejelasinnya sama kamu, Iq? Adikmu udah punya pacar, dan itu yang bikin aku kayak gini!" batin Danang, sambil menatap Faiq nanar. "Enggak apa-apa. Lagi sakit hati aja sama orang, makanya kayak gini." jawabnya yang sangat ambigu. "Kamu ada apa nyusulin aku segala?"

"Bang Egi yang minta. Katanya kamunya kelamaan, jadi takut waktu istirahatnya habis dan kita belum sempet makan bareng. Jadinya minta aku buat nyusulin kamu ke sini." jelas Faiq, sambil sesekali melirik Danang yang sedang mengimbangi langkahnya menuju rumah dinas Egi. "Kamu, nggak mau cerita apa gitu ke aku, Nang?"

Danang langsung menatap Faiq. "Cerita apa?"

"Ya cerita apa gitu, yang bikin kamu sakit hati sama orang?"

Danang tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Belum waktunya, Iq. Nanti kalau udah waktunya, aku pasti bakal cerita semuanya ke kamu."

Faiq menepuk bahu kanan Danang dua kali. "Oke, aku tunggu waktu itu." jawabnya, yang langsung di balas anggukan kepala oleh Danang. "Oh iya, kamu tau nggak, adikku kemana akhir-akhir ini?"

"Lah?" Danang langsung menatap Faiq bingung. "Kenapa kamu malah tanya aku?"

Faiq mengangkat bahunya. "Aku juga nggak tau dia akhir-akhir ini kemana. Sibuk banget kayaknya. Jarang ada kabar juga."

"Mungkin dia sibuk, Iq, makanya nggak sempet ngabarin kamu." dusta Danang, yang enggan menatap Faiq karena takut kebohongannya terbongkar.

"Sesibuknya dia, pasti dia ada waktu kalau misalnya aku ajak ketemu. Lha ini? Sama sekali nggak bisa.aku sampe bingung dia kenapa."

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang