EMPAT BELAS

3.3K 252 25
                                    

"Jadi, gimana, yah, bu, lamaran Danang?" tanya Faiq, memecahkan keheningan di antara mereka.

Zaenal menghela nafas. Ia menatap Faiq, kemudian mengalihkannya pada Danang.

"Nang."

Danang menegakkan tubuhnya, kemudian menatap Zaenal. "Dalem."

"Bapak tidak bisa menjawab lamaran kamu."

Pernyataan Zaenal itu tentu saja langsung membuat Danang tersenyum getir, dan Faiq menatapnya bingung.

"Maksud ayah?" tanya Faiq, tanpa berusaha menyembunyikan rasa penasarannya.

"Karena yang akan menjalani pernikahan kan bukan ayah, tapi adikmu, Lidya." Zaenal menatap Faiq, kemudian beralih menatap Danang. "Bapak tidak mempunyai wewenang untuk menjawab, karena yang berhak menjawab lamaran kamu adalah Lidya, orang yang akan menjalaninya, bukan bapak dan ibu, Nang. Tapi, bapak salut sama keyakinan hati dan keberanian kamu untuk langsung melamar Lidya, tanpa berniat menjalani pacaran terlebih dahulu." Zaenal tersenyum sambil menatap Danang. Senyuman yang tulus. Ia kemudian beralih menatap Faiq. "Mas."

"Dalem, yah." jawab Faiq.

"Tolong panggil adikmu. Kalau dia nggak mau, bilang aja ayah yang nyuruh."

Setelah Zaenal menyelesaikan kalimatnya, Faiq langsung beranjak dan menghilang di balik korden yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah.

"Danang." panggil Zahra lembut.

"Dalem, bu." jawab Danang, masih merasa gugup karena tatapan Zahra terhadapnya.

"Ibu sangat berterimakasih, karena kamu lebih mendahulukan meminta izin kepada kami, daripada mengutarakannya kepada Lidya."

Danang mengangguk pelan. "Nggeh, bu. Saya hanya berusaha untuk menjaga kehormatan dan nama baik Lidya, dengan melamarnya langsung sebelum saya mendekatinya. Saya tidak ingin menimbulkan fitnah, karena dekat dengan Lidya tanpa status dan tujuan yang pasti."

"Mas iki opo sih? Narik-narik wae!" protes Lidya, sambil menghempaskan tangan Faiq yang menggenggam tangan kirinya. (Mas ini apa-apaan sih? Narik-narik aja!)

"Kandani di timbali ayah kok. Ngeyel!" Faiq kemudian duduk kembali di samping Danang. Setelah itu, ia menatap adiknya yang masih terlihat kesal karena sikapnya, kemudian menjulurkan lidah ke arah Lidya. (Dibilangin dipanggil ayah kok)

"Duduk, dek." pinta Zaenal, yang kemudian langsung dituruti oleh Lidya, duduk di sofa yang ada di sisi kanannya.

"Wonten nopo, yah?" tanya Lidya. (Ada apa, yah?)

Zaenal menatap putri bungsunya dengan senyuman lembut. "Adek gimana kuliahnya?"

"Alhamdulillah lancar, yah. Skripsinya udah sampe Kesimpulan. Kalau nggak ada yang perlu di revisi, bulan depan udah bisa sidang." jawab Lidya. "Kenapa, yah?"

"Adek sudah punya pacar?"

Lidya langsung membelalakkan matanya. Merasa kaget karena ayahnya bertanya seperti itu. Ia kemudian menunduk malu. Tidak tahu harus jujur tentang hubungannya dengan Abi, atau harus berbohong agar orangtuanya memperpanjang izinnya untuk tinggal di Semarang seorang diri.

"Ehem!"

Lidya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah kakaknya yang berpura-pura terbatuk itu.

"Jujur aja, dek." desak Faiq, yang langsung di tegur oleh Zaenal lewat gelengan kepala.

Lidya menggenggam jemari tangannya. Gugup. Ia tidak tahu harus memulai darimana.

"Dek?" panggil Zaenal.

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang