DUA PULUH EMPAT

3.1K 260 19
                                    

Royan tersenyum sambil menatap Lidya yang kini sedang menundukkan kepalanya.

"Pakdhe bukannya lagi di Jakarta? Kata Mas Danang ada urusan, jadinya nggak bisa dateng waktu acara pelepasannya Mas Danang tadi di Kesatuan. Kok sekarang tiba-tiba ada di sini?"

Royan terkekeh mendengar pertanyaan Kayva yang beruntun itu. Ia menatap Kayva yang kini duduk di sofa di sisi kanannya, tepat di samping kiri Dimas. "Sebenernya ya emang pakdhe ada urusan di Jakarta. Tapi udah selesai tadi pagi. Terus waktu tanya budhemu, katanya budhemu mau ke Semarang dulu. Ketemu kamu sama Si Kembar, terus sekalian lihat calonnya masmu, Key."

Kayva langsung berbinar mendengar hal itu. "Cantik, kan, pakdhe? Mas Danang tuh nggak salah milih calon. Tadi waktu pertama kali ketemu Si Kembar juga, Lidya udah langsung akrab aja sama mereka. Kayak udah kenal lama gitu, pakdhe. Jadi gampang lah buat adaptasinya nanti."

Royan menganggukkan kepalanya pelan, sambil menatap Lidya yang kini sudah duduk tepat di seberang sofa yang ia duduki bersama istrinya.

"Budhe Lidya, ayo main lego lagi." ajak Reynand dan Rizal secara kompak menarik tangan Lidya masing-masing kiri dan kanan. "Kita buat menara sama bengkel buat reparasi mobil-mobil mainannya, budhe. Kayak tadi yang budhe buatin. Yuk."

"Abang, adek, nggak boleh ganggu Budhe Lidya dulu ya, sayang. Soalnya Mbah Kakung sama Mbah Uti ada perlu sama Budhe Lidya. Jadi, abang sama adek mainnya sama Tante Dini dulu ya?" pinta Dimas, yang langsung di jawab anggukan oleh Reynand dan Rizal. "Terimakasih, sayang." lanjut Dimas atas rasa pengertian yang ditunjukkan oleh Si Kembar, tepat sebelum keduanya berlari menuju kamar Dini.

"Jadi, Nak Lidya ini pilihannya masmu, Key?" tanya Retno pada Kayva, sambil menatap Lidya yang masih saja menundukkan kepalanya.

"Iya, budhe. Cantik, kan?" tanya Kayva, berusaha untuk mencarikan suasana yang terkesan menegangkan itu.

Retno hanya mengangguk pelan. "Nak Lidya." panggilnya lembut.

Lidya menatap Retno canggung. Ia memberanikan diri untuk tersenyum simpul. "Dalem, bu."

"Boleh ibu minta Nak Lidya memperkenalkan diri?"

Lidya mengangguk pelan sambil tersenyum kembali. "Perkenalkan, bapak, ibu, nama lengkap saya Maulidya Aulia Nissa, tapi saya biasa dipanggil Lidya. Saya masih menunggu jadwal sidang skripsi saya di Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik. Saya bungsu dari dua bersaudara. Kakak saya seorang prajurit raider, sama seperti Mas Danang, juga berdinas di tempat yang sama seperti Mas Danang, di Yonif 400." jeda sejenak, karena Lidya berusaha menghilangkan rasa gugupnya. "Kedua orangtua saya kemaren masih tinggal di Sragi. Tapi mulai hari ini, kedua orangtua saya kembali tinggal di Kendal, karena ayah saya kembali ditugaskan di pabrik gula yang ada di Kendal. Saya terlahir dari keluarga yang sederhana, dengan ayah saya yang hanya karyawan pabrik gula, serta ibu saya yang membuka usaha pembuatan kue-kue tradisional."

"Kamu bisa membuat kue juga?" tanya Retno.

Lidya menganggukkan kepalanya pelan. "Alhamdulillah, bu. Sedikit-sedikit, saya belajar waktu membantu ibu saya membuat kue-kue pesanan pelanggan."

Hening. Hanya Royan dan Retno yang saling menatap. Mengabaikan Kayva yang mendesak mereka lewat tatapan matanya, agar mereka segera memberikan restu untuk Lidya.

"Yo wes to, bu. Biasa wae lah. Kok njur sepaneng terus." ujar Royan. (Sudah, bu. Biasa aja. Kok jadi terlanjur serius terus)

Pernyataan Royan itu tentu saja langsung membuat Kayva dan Dimas mengerutkan keningnya.

"Maksud pakdhe?" tanya Kayva.

Bukannya menjawab, Royan dan Retno justru terkekeh mendengar pertanyaan Kayva itu.

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang