DUA BELAS

3.1K 255 17
                                    

"Tapi, masalahnya bukan cuma itu, dek." lirih Afi. "Bukan hanya karena mbak korban perkosaan. Tapi..."

"Tapi apa mbak?" tanya Lidya, karena Afi tak ku jung melanjutkan kalimatnya.

"Mbak sakit. Dan karena penyakit itu mbak nggak bisa nikah sama Mas Abi." Afi menatap Lidya nanar.

Lidya menatap Afi bingung. "Kalau mbak sakit, bukannya Mas Abi harusnya ngedukung mbak buat berobat?" jeda sejenak. "Iya dong? Harusnya Mas Abi enggak pergi ninggalin mbak, kalau misalnya tahu mbak sakit. Harusnya dia selalu ngedukung dan ngasih semangat Mbak Afi biar mbak ceper sembuh. Ini kol malah sebaliknya sih? Kenapa Mas Abi justru malah ninggalin mbak?"

"Masalahnya, penyakit mbak ini belum ada obatnya, dek." lirih Afi.

"Mbak, semua penyakit itu ada obatnya. Dalam Alquran juga udah di jelasin, kalau semua penyakit itu ada obatnya, tergantung ikhtiar diri kita, mau sembuh atau enggak." sergah Lidya menggebu. Ia yang awalnya mencoba biasa saja, toh kini mulai emosi karena Abi meninggalkan Afi saat mengetahui bahwa Afi sakit.

Afi menatap Lidya dengan sorot mata yang berkaca-kaca. Tidak tahu lagi harus bagaimana menjelaskannya agar Lidya mengerti, bahwa ia dan Abi tidak bisa bersatu karena penyakit yang di deritanya.

"Harusnya Mas Abi sebagai dokter tuh ngasih solusi terbaik, gimana caranya biar mbak bisa sembuh. Toh dia dokter ahli di rumah sakit tempat dia dinas, kan? Kenapa dia jadi se..."

"Mbak positif HIV."

Kalimat Afi itu langsung saja membuat Lidya menatapnya tak percaya. "Apa?"

"Karena kejadian itu, mbak mengidap HIV. Pelaku pemerkosaan itu pengidap HIV. Karena itu juga, mbak sama Mas Abi nggak bisa bersatu." lirih Afi, menatap langsung manik mata Lidya.

Lidya tertegun. Ia sama sekali tidak tahu harus berkata apa, juga harus bersikap bagaimana. Ia bingung.

"Awal Mas Abi deketin mbak, karena dia ngerasa kasihan sama mbak, karena mbak hidup sebatang kara, dan jadi korban perkosaan. Dia yang selalu ngasih semangat ke mbak, biar mbak semangat ngejalanin hidup." jelas Afi. "Dari situ, mulai tumbuh rasa nyaman yang pada akhirnya jadi rasa cinta di antara kami. Mas Abi bilang, kalau dia nggak mempermasalahkan status mbak yang pernah menjadi korban perkosaan. Toh dia bisa nyantumin bukti visum dan BAP kalau misalnya kita mau pengajuan nikah nanti di kantor. Tapi, mbak ragu dengan keputusan itu. Mbak menentang habis-habisan, karena mbak ngerasa nggak pantes buat dia."

"Tapi, toh Mas Abi tetap pada pendiriannya. Dia tetap nggak mau pisah sama mbak. Sampai mbak dapet kabar, kalau pelaku perkosaan itu pengidap HIV." jelas Afi.

"Mas Abi gimana?" tanya Lidya.

"Awalnya mbak nyembunyiin kabar itu dari Mas Abi, karena waktu pihak kepolisian ngabari soal itu, Mas Abi dinas di luar kota, jadi dia nggak tahu."

"Terus?"

"Mbak ngejalanin tes tanpa sepengetahuan Mas Abi. Dan hasilnya, mbak positif HIV."

Airmata Afi kembali berjatuhan. Tubuhnya yang bergetar, langsung dipeluk erat oleh Lidya yang mencoba sebisa mungkin menenangkan Afi, juga sebagai penebusan rasa bersalahnya karena kembali mengingatkan Afi perihal alasannya berpisah dengan Abi.

"Maaf ya, mbak. Gara-gara aku, mbak jadi inget hal itu lagi." Lidya pun ikut menitihkan airmata. Pada akhirnya, ia yang merasa bersalah, juga merasa kasihan karena Abi dan Afi harus berpisah karena alasan yang tidak mereka perbuat, melainkan karena kesalahan orang lain.

Afi mengirai pelukan itu, kemudian menghapus sisa airmata di wajahnya. "Nggak apa-apa kok, dek. Kan biar kamu juga tahu, alesannya kenapa mbak sama Mas Abi pisah." Ia kemudian tersenyum lembut. "Siapa tahu, kan, kamu sama Mas Abi jadi bisa bersatu suatu saat nanti."

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang