DELAPAN

3.3K 233 19
                                    

Danang mengerutkan keningnya tak mengerti. Pertanyaan Ivan masih saja mengganggu pikirannya.

"Maksud Mas Ivan gimana?" justru Faiq yang terlihat bingung. Sedangkan Danang, ia memasang wajah datar, tanpa ada yang mengetahui, bahwa hatinya tengah bergejolak.

Ivan menegakkan tubuhnya. "Danang kan udah lama kenal sama Lidya, lumayan deket juga, kan? Emang dia nggak ada gitu rasa tertarik sama Lidya?"

Danang menetralkan suara dan detak jantungnya. "Jadi, maksud Mas Ivan, apa aku nggak suka sama Lidya, setelah sekian lama kenal?"

"Iya. Intinya gitu." jawab Ivan.

"Kenapa mesti aku, mas?" tanya Danang ragu. Ia terlihat kikuk menanyakan hal itu. Walaupun jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin bersorak karena Ivan bertanya seperti itu padanya.

"Kamu nggak suka sama Lidya, Nang?" tanya Alif.

Danang mati kutu. Ia seperti tengah di sudutkan oleh Alif, Ivan dan Faiq dengan masing-masing dari mereka membawa senapan dengan magasin terisi penuh.

"Nang?" Ivan kembali memanggil Danang, yang sejak tadi hanya diam, menghindari tatapan matanya, juga pertanyaannya.

Danang menghembuskan nafas perlahan. Mencoba menenangkan hati juga detak jantungnya. Kemudian menatap Faiq, Ivan dan Alif satu persatu.

"Iq, masih inget kenapa tanganku luka?" Danang mengangkat tangannya, dan menunjukkan luka di punggung tangannya yang kini sudah mulai mengering.

Faiq mengangguk. "Karena mukul pohon. Dan kamu janji mau cerita alesannya ke aku."

Alif mengerutkan keningnya menatap Danang dan Faiq bergantian. "Kenapa sampe kayak gitu, Nang?"

Danang kembali menghela nafas. "Aku mau jujur sekarang." jeda sejenak. "Tapi maaf sebelumnya."

"Maaf kenapa?" tanya Ivan, masih dengan sikap tenang dan ekspresi yang susah di artikan.

"Aku mau minta maaf, karena aku udah suka sama Lidya."

"Ha?" Faiq menatap Danang tak percaya. Sementara Alif justru tersenyum, dan Ivan masih dengan ekspresinya semula. Tidak terkejut sama sekali.

"Kamu suka sama Lidya, Nang?" tanya Faiq, masih dengan intonasi yang tidak percaya. "Sejak kapan?" lanjutnya, setelah mendapat anggukan dari Danang.

"Sejak kapannya aku juga nggak tau. Tapi, aku baru sadar kalau aku suka sama Lidya, beberapa minggu kemaren, setelah aku ngajak dia ke Jepara." jelas Danang, dengan sorot mata menerawang. "Aku baru sadar kalau aku suka sama dia, karena aku juga baru sadar, kalau aku lagi sama Lidya, aku lupa sama semuanya, bahkan sama Kayva sekalipun." Danang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Emang nggak masuk akal sih. Tapi, toh nyatanya itu yang aku rasain waktu aku sama Lidya. Aku ngerasa nyaman, nggak inget kalau aku lagi ada masalah, dan aku seneng waktu lihat dia senyum bahkan ketawa waktu ada di deket aku." Ia mengangkat bahunya, tidak mengerti. "Aku juga nggak tau ini bener atau salah. Cuma yang aku tau, kalau sama Lidya aku ngerasa nyaman dan nggak mikirin yang lain."

Faiq masih menatap Danang tidak percaya. "Gimana bisa gitu? Emang kamu udah yakin sama perasaan kamu ke Lidya?"

Alif justru tersenyum menanggapi pertanyaan Faiq ke Danang itu. "Bukannya malah bagus? Berarti kita nggak perlu usaha lagi biar Danang suka sama Lidya, dianya udah jatuh cinta gitu sama Lidya. Toh kita juga udah kenal lumayan lama sama Danang, udah tau belangnya juga, kan? Terus apalagi?" Alif menatap Ivan, meminta persetujuan. "Ya, nggak, Van?"

"Hubungannya kamu suka sama Lidya, sama tangan kamu yang luka itu, apa?" Ivan menatap Danang dan tangan kanannya bergantian, mengabaikan pertanyaan kakaknya.

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang