TIGA PULUH TIGA

3.3K 239 20
                                    

Danang tidak menanggapi kalimat Lidya itu. Ia justru kini menatap Faiq penuh tanya. "Gimana bisa dia ada di sini?"

Faiq menggelengkan kepalanya tegas. "Jangan tanya aku. Aku juga tadi kaget waktu lihat dia udah di sini sama Pak Danial."

"Dek, kamu tahu darimana kalau mas di sini? Siapa yang ngasih tahu kamu?" tanya Danang.

Lidya menghembuskan napas kasar. "Sebenarnya, yang penting itu aku tahu darimana Mas Danang ada di sini, atau kehadiranku di sini buat ngerawat Mas Danang?"

"Bukan gitu." sergah Danang seketika. "Mas cuma mau tahu, kamu tahu dari siapa? Itu aja. Bukan berarti mas nggak suka dirawat sama kamu. Mas suka. Mas bersyukur banget kamu mau ngerawat mas di sini." Ia kemudian mencoba bangkit untuk duduk, namun rasa sakit yang kembali menyerangnya, memaksanya untuk kembali berbaring.

"Tiduran aja, Nang. Nggak usah duduk dulu! Tulang belum sembuh juga, maksa buat bangun!" omel Faiq, yang tadi reflek berlari ke arah Danang, saat melihat Danang kesakitan.

"Mas tuh minta dipukul lagi apa gimana? Udah tahu tulang sakit, maksa bangun sembarangan kayak gitu! Aku pukul aja sini sekalian, biar kapok!" lanjut Lidya, yang tadi juga panik saat melihat Danang kesakitan. "Isone gawe wong khawatir tok!" (Bisanya buat orang khawatir aja)

"Ya maaf, dek." Danang langsung menunduk seketika, merasa bersalah. "Kan maksud mas biar kamu nggak pergi dan tetep di sini sama mas."

"Ya udah kalau mau aku di sini. Diem aja, anteng. Nggak usah aneh-aneh!" ancam Lidya, yang langsung membuat Faiq terkekeh.

"Iya, iya." lirih Danang.

"Ya udah, Nang. Kan Lidya udah ada di sini. Jadi aku balik ke kantor lagi ya? Masih ada tugas juga dari Komandan. Nanti malem aku ke sini lagi." ujar Faiq, sambil menepuk lengan kanan Danang. "Bapak sama ibumu masih dalam perjalanan dari Pekalongan. Berangkat agak siang katanya nungguin om kamu gitu tadi bilangnya."

"Iya. Makasih ya, bang."

Faiq mengangguk, lalu beralih menatap Lidya. "Mas balik ke kantor lagi ya, dek. Titip Danang. Kalau dia aneh-aneh lagi, tinggal aja, nggak usah nikah sekalian."

"Jangan ya, dek? Jangan tinggalin mas ya?" Danang mencoba meraih tangan Lidya untuk ia genggam, namun seketika itu juga langsung ditepis dengan kasar oleh Faiq.

"Nggak ada pegang-pegang sebelum halal ya!"

"Nggak ada keringanan, bang? Kan lagi sakit."

Faiq terlihat berpikir sejenak. "Nggak lebih dari sepuluh detik!"

"Itu bukan pegangan, bang. Tapi nyolek namanya." protes Danang.

"Mau atau enggak sama sekali?"

"Iya, bang, setuju. Maaf." lirih Danang, yang kembali membuat Lidya terkekeh.

"Mas ke kantor dulu ya, dek? Bentar lagi jam makan siang, ada yang nganterin makan ke sini. Kalau dia nggak mau makan, kamu suapin aja pake centong nasi sekalian. Biar langsung habis makanannya."

"Mas jahat banget deh." ujar Lidya.

"Biarin aja. Biar dia kapok!" Faiq menatap Danang dengan tajam. "Inget ya, Nang. Setelah kamu sembuh, kalian harus dipingit. Nggak boleh ketemu lagi sampai hari H pernikahan kalian, dan kamu lancar ngelafalin ijab qobul. Ngerti kamu?"

"Kok pake acara pingitan segala, bang?" protes Danang lagi.

"Emang harusnya gitu, kan?" balas Faiq tak kalah sengit. "Kamu dulu juga bukannya bener-bener ngejagain Kayva, waktu dia dalam masa pingitan sama Dimas? Ya itu yang aku terapin ke kamu sama Lidya sekarang. Biar kalian berdua terhindar dari masalah yang timbul menjelang pernikahan. Ngerti?"

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang