DELAPAN BELAS

3.3K 246 21
                                    

"Gimana, Nang?"

"Aku coba ngomong sama keluarga dulu ya, mas, enaknya kapan buat nemuin dua keluarga. Nanti aku juga coba tanya sama ayah, kapan punya waktu. Soalnya aku juga kan harus nunggu jadwal libur, mas."

Alif mengangguk mengerti. "Iya, Nang." Ia menepuk bahu Danang. "Mas ngerti kok. Kamu tenang aja."

Danang mengangguk sebagai jawaban. Ia kemudian merenungkan apa yang tadi Alif tanyakan padanya. Alif benar. Ia harus segera mempertemukan kedua keluarga, agar mereka bisa secepatnya menikah. Mengingat perintah dari Komandan yang bisa datang sewaktu-waktu. Ia juga harus bisa memanfaatkan kesempatan ini. Kesempatan sebelum ia ditugaskan keluar daerah lagi.

Tepukan di bahunya kembali menyadarkan Danang dari lamunannya. Ia menatap Faiq yang berdiri menatapnya bingung.

"Apa?" tanya Danang pada Faiq.

"Kamu nggak denger tadi aku bilang apa?" tanya Faiq.

Danang menggelengkan kepalanya. "Enggak. Emang bilang apa?"

Faiq menghela nafas. "Tadi aku nanya, kamu mau ikut ke masjid apa enggak?"

"Oh. Iya, aku ikut. Ayo berangkat sekarang."

***

"Iq, ayah masih lama di Kendal?" tanya Danang pada Faiq, sepulangnya mereka dari masjid.

Faiq menatap Danang tak mengerti. "Kenapa? Setahuku minggu malem udah berangkat ke Sragi."

"Gimana ngomongnya ya." gumam Danang, lebih kepada dirinya sendiri.

Faiq mengerutkan keningnya. "Gimana apanya?"

"Tadi Mas Alif nanya, aku kapan ngajak keluarga buat ngelamar Lidya secara resmi. Mumpung belum ada tugas dari Komandan, jadi harus bisa manfaatin waktu. Kalau misalnya bisa langsung pengajuan, malah lebih bagus. Kan biar bisa langsung nikah. Gitu katanya."

Faiq mengusap tengkuknya. "Ya emang ada benernya juga. Tapi, emang kamu udah siap buat nikah?"

Danang mengalihkan pandangannya, dari Faiq menjadi lurus ke depan. "Kalau ngomongin siap, tingkat kesiapan seseorang itu beda-beda. Tergantung pribadi masing-masing." Ia kemudian kembali menatap Faiq. "Jujur aja, kalau aku di suruh milih, nikah cepet atau pacaran dulu buat lebih kenal pribadinya Lidya, aku lebih milih nikah cepet, kalau misalnya Lidya siap. Pacaran lama juga nanti jadi bahan omongan orang. Belum lagi Lidya yang tinggal sendiri di Semarang, aku juga tugas di Semarang. Nanti ada yang mikir kalau aku sama Lidya sering ketemu, dan mikir kita yang enggak-enggak, karena Lidya sendiri di sana." Ia kemudian mengangkat bahu. "Jalan pikiran orang, nggak ada yang tahu, kan?"

Faiq mengangguk setuju. "Iya juga sih. Nanti deh, aku coba omongin sama ayah, kapan punya waktu."

Danang mengangguk. Sesaat kemudian, ia di kagetkan dengan suara Lidya yang memanggil namanya dari teras rumah.

"Apa sih, dek, pake teriak-teriak segala. Malu sama tetangga." tegur Faiq, saat Lidya sudah berada di hadapannya dan Danang.

Lidya menatap Faiq malas. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Danang. "Ini lho, handphone Mas Danang tuh dari tadi bunyi terus dari aku selesai sholat." jelasnya, sambil mengangsurkan handphone berwarna hitam ke arah Danang.

Beautiful People #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang