BAB 17

1.8K 57 1
                                    

Rey melirik Gista, wanita di hadapannya ini makan dalam diam, begitu juga dengan dirinya. Tidak ada yang memulai percakapan di sepasang makan malam ini. Rasa soup di buat Gista begitu enak dan sangat pas di lidahnya.

"Kamu tadi ke sini pakai apa?," Tanya Rey, ia menyudahi makannya, dan meneguk air mineral itu.

"Taxi,"

"Hobi kamu apa?," Tanya Rey penasaran, ia meletakan gelas itu di meja.

"Seorang wanita seperti saya, sudah pasti senang berbelanja," ucap Gista di selingi tawa.

Gista melirik Rey, "Dan kamu?," Tanya Gista, ia juga menyudahi makannya.

"Basket,"

"Pantas badan kamu keren," ucap Gista pelan.

Gista menegakkan punggungnya ia akan mengemasi makan malam ini, setelah itu ia akan pulang. Ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 20.10 menit. Rey memperhatikan Gista, wanita itu meniriskan piring di rak piring dekat wastafel. Rey menarik nafas panjang, ia menatap Gista cukup serius.

"Mari kita pacaran," ucap Rey seketika.

Gista yang mendengar itu lalu menoleh kearah Rey. Ia sulit percaya apa yang diucapkan Rey. Rey menyatakan bahwa ingin berpacaran dengan dirinya. Rasanya terlalu cepat Rey mengatakan itu. Ia bahkan tidak tahu seluk beluk laki-laki ini.

Jujur ia bukan jenis wanita yang bisa menerima laki-laki begitu saja dalam hatinya. Ia butuh pendekatan yang lebih dalam. Misalnya mengenal dia lebih dari tiga bulan, bukan terburu-buru seperti ini. Setidaknya beri ia waktu untuk berpikir untuk mengenalnya. Ini bahkan baru beberapa hari ia mengenal Rey. Rey bukan seperti Bima, yang ia kenal luar dalam. Itu saja belum cukup untuk berpacaran dengan Bima. Sedangkan Rey, laki-laki kemarin yang baru ia kenal. Kini dengan seenaknya saja mengatakan ingin berpacaran dengannya. Rey memang sudah Gila, kemarin baru saja laki-laki itu menciumnya sekarang malah menginginkannya. Setelah itu apa lagi yang laki-laki itu inginkan darinya.

Pacaran dengan seorang Rey di luar expetasinya. Ia tidak tahu, apa yang membuat Rey terarik pada dirinya, sehingga memutuskan untuk mendekatinya seperti ini. Pacaran itu persoalan hati yang harus ia pikirkan secara matang. Ia juga bukan wanita gampangan yang bisa menerima laki-laki lain. Ia harus kenal kenal baik siapa pacarnya, bibit bobotnya. Walau ia tahu bahwa bibit bobot Rey tidak diragukan lagi. Buktinya ia salah satu pemilik saham terbesar setelah pak Roby di Grand Hotel ini.

Ia tidak ingin mengambil keputusan terlalu cepat, ia tidak ingin terluka kesekian kalinya. Gista menelan ludah, ia mematikan keran air di wastafel. Ia menatap Rey cukup serius.

"Maaf aku tidak bisa, aku tidak bisa pacaran dengan laki-laki yang baru aku kenal," ucap Gista.

"Kita sudah kenal lama,"

"Tapi tidak secara personal," timpal Gista.

Gista menarik nafas, ia harus menjelaskan ini kepada Rey,

"Pacaran itu merupakan hal yang cukup serius yang harus aku pikirkan. Aku enggak ingin main-main menjalin sebuah hubungan itu. Pembahasan ini sudah terlalu jauh menurut aku,"

"Aku juga bukan jenis wanita yang bisa menerima laki-laki begitu saja. Walaupun aku tahu kamu atasan aku, bukan berarti aku tidak bisa menolaknya,"

"Berilah waktu untuk aku berpikir, sebaiknya aku segera pulang," ucap Gista lalu berlalu pergi dari hadapan Rey.

Rey hanya diam dan memperhatikan Gista dari kejauhan. Ia tersenyum culas, kemarin wanita itu membalas ciumannya. Ia pikir wanita itu juga menyukainya. Lihatlah sekarang wanita pergi begitu saja dan menolaknya. Ia lihat saja, seberapa lama wanita itu bertahan dengan posisinya. Membiarkan Gista pergi begitu saja, tanpa ia cegah.

***

Bima menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur. Ada perasaan bahagia, ia bisa dekat dengan bocah kecil bernama Mita. Ia tidak habis pikir ia bisa mencium Mita dengan intens. Bahkan sebelumnya ia tidak ada niat sedikitpun mencium Mita. Gadis muda itu membuatnya semakin gila. Cara ia tersenyum, menatapnya dengan pandangan ketulusan, naif, dan malu-malu. Jika seperti ini, ia seperti anak ABG yang baru pacaran. Bima tertawa jika melihat tingkahnya seperti ini.

"Oh Mita, kamu membuat aku gila," gerutu Bima.

Bima memandang wajah cantik Mita di layar ponselnya. Senyum simpul yang tulus, selalu di perlihatkan kepadanya. Ia memejamkan mata sejenak, ia membayangkan senyum Mita. Ia sepertinya tidak peduli lagi siapa Mita sebenarnya. Ia menganggap Mita sebagian kecil wanita yang telah mencuri separuh hati nya.

Suara bell berbunyi, Bima mengalihkan pandangannya ke arah pintu utama. Ia lalu membuka handel pintu. Alis Bima terangkat menatap sahabatnya di sana. Oke, ini bukan pertama kalinya Gista ke apartemennya, bahkan wanita ini sering ke sini.

"Gista," ucap Bima, ia melangkah mendekati Gista, lalu mengecup puncak kepala itu.

"Tumben enggak nelfon dulu mau ke sini," ucap Bima.

"Kebetulan aku dari luar, aku mau menikmati secangkir kopi Americano, di cafe Aroma, sambil menikmati musik jazz," ucap Gista, ia hanya ingin menenangkan pikirannya.

Bima berpikir sejenak, dan ia lalu tersenyum, "Tunggulah sebentar, aku ambil jaket dan kunci mobil di dalam," ucap Bima.

Bima menoleh ke arah Gista, "Mau masuk?" Menawarkan kepada sahabatnya itu.

"Enggak deh, gue tunggu di sini aja," ucap Gista, ia lebih baik menunggu di dekat daun pintu.

Bima melangkah masuk ke dalam. Padahal tadi ia sedang memikirkan Mita dan akan menelfon gadis kecil itu. Tapi Gista malah mengacaukan pikiran dan rencananya. Bima mengambil jaket adidas berwarna hitam yang menggantung di lemari. Ia menatap penampilannya di cermin, menyemprot minyak wangi di sisi lehernya. Setelah itu ia ambil kunci mobil di nakas.

Beberapa menit kemudian, ia melangkah menuju pintu utama, menemui Gista. Gista menyadari kehadirannya dan tersenyum.

"Lo sibuk mulu akhir-akhir ini, kangen tau," ucap Gista, ia mengapit lengan kiri Bima. Ia mencairkan suasana, karena nama Rey bergeliya di pikirannya.

"Lo tau sendiri, kerjaan gue banyak," ucap Bima, mengusap kepala Gista.

"Tumben bener lo mau dengerin musik jazz, di cafe Aroma, lo ada masalah?" Tanya Bima mencoba menyelidiki.

"Enggak ada sih, hanya lagi mumet, gue butuh hiburan," ucap Gista, berjalan menuju pintu lift, sementara Bima menyeimbangi langkah Gista.

"Kenapa enggak ke equinox, udah lama nih kita enggak goyang," ucap Bima di selingi tawa. Jujur sudah lama ia dan teman teman office ke dunia malam. Mereka melakukan itu hanya untuk sekedar hiburan saja tidak lebih.

"Gue lagi males dugem, gue butuh ketenangan, Bim,"

"Hemmm, oke," ucap Bima, ia tersenyum kepada Gista.

Sedetik kemudian pintu lift terbuka ia dan Gista masuk ke dalam elevator. Sementara di sisi lain, ada sepasang mata yang memandangnya dari kejauhan. Menahan amarah dan menepis air mata, yang tidak bisa ia bendung lagi.

***

FRIEND WITH BENEFIT (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang