BAB 38

1.4K 60 2
                                    

"Barang-barang gue, gue titip sama kurir. Gue kayaknya pulang malam, masih ngajarin Joko buat laporan. Nanti makan kita makan ayam penyet, oke,"

Bima
17.10

Gisat lalu membalas pesan singkat itu,

"Oke,"

Gista melirik Rey, laki-laki itu masih mengikuti langkahnya. Sebenarnya ia tidak ingin Rey mengantarnya hingga ke apartemen seperti ini. Masalahnya Bima menginap di sini, baju, sepatu dan beberapa tas Bima ia letakkan sembarang, karena tadi terburu-buru. Gista masih berdiri di daun pintu.

"Apartemen aku berantakkan," ucap Gista, memberi alasan agar Rey tidak perlu mampir.

"Kita bereskan sama-sama kalau begitu," ucap Rey datar.

"Jangan nanti kamu capek, mending kamu istirahat dan langsung pulang bagaimana?" Ucap Gista memberi solusi.

Rey mulai menyelidiki gelagat Gista, raut wajah itu cemas,

"Kamu kok ketakutan gitu aku mampir ke apartemen kamu," ucap Rey mencoba menyelidiki.

"Bukan seperti itu," ucap Gista.

"Kamu manyembunyikan sesuatu dari aku,"

Oke, sekarang ia akan bersikap terbuka kepada laki-laki di hadapannya ini. Jika ingin marah, ya marah lah. Memang kenyataanya ia akan menampung Bima di apartemenya. Gista menarik nafas panjang, ia menatap Rey dengan perasaan takut. Ia lalu membuka handel pintu. Rey memandang Gista, dan lalu masuk begitu saja.

Rey menghentikan langkahnya, ia memandang sepasang sepatu laki-laki di dekat daun pintu. Ia tahu mana jenis sepatu wanita dan sepatu laki-laki. Jelas saja bentuk dan ukurannya berbeda. Rey melirik Gista, wanita itu sedang menutup pintu.

"Itu sepatu siapa," ucap Rey, menunjuk sepasang sepatu berwarna hitam di sana. Ia menatap Gista cukup serius.

Gista tidak menjawab, dan lalu berlalu begitu saja. Ia lalu masuk ke dalam kamar, meletakkan tas nya di nakas.

Rey mulai menyelidiki Gista, kekasihnya itu tidak menjawab pertanyaan, malah berlalu pergi begitu saja. Ia yakin ada yang tidak ia ketahui tentang wanitanya. Lebih tepatnya Gista sekarang sebagai calon istrinya. Rey memandang sebuah tas yang menggantung di dinding, tas ransel itu milik seorang laki-laki bukan jenis tas seorang wanita.

"Katanya kamu tinggal sendiri di sini," ucap Rey, ia melangkah mendekati Gista.

"Ya, aku emang tinggal sendiri," ucap Gista jujur, ia membuka lemari dan mengambil hanger. Ia akan menggantung jas nya di lemari.

Rey masih menyelidiiki ia memandang sebuah baju kaos berwarna hitam di dekat mesin cuci. Ada perasaan tidak enak di hatinya. Rey mengalihkan pandangannya ke arah lemari. Gista menutup lemari itu dengan cepat. Tapi tangan Rey dengan cepat menahan pintu lemari itu agar tidak tertutup.

"Apaan sih Rey," ucap Gista, ia menatap Rey yang mulai mencurigainya.

Rey tidak menjawab pertanyaan Gista, ia menepis tangan kurus Gista, lalu membuka pintu lemari itu begitu saja. Rey tidak percaya apa yang di lihatnya. Ia menatap deretan kemeja dan beberapa baju laki-laki tersusun rapi di sana. Baju itu tidak sedikit, tapi lumayan banyak. Gista tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, bahkan di sana ada beberapa underware dan kaos dalam lengkap.

"Sepertinya kamu tidak tinggal sendiri di sini," ucap Rey, rahangnya mengeras.

"Apaan sih Rey," ucap Gista memandang Rey dengan berani.

"Siapa laki-laki yang tinggal dengan kamu !" Tanya Rey keras.

"Itu bukan urusan kamu," timpal Gista.

"Jelas saja itu urusan aku, kamu kekasih aku sekarang !," ucap Rey emosi.

Rey bertolak pinggang memandang Gista. Susana mendadak gerah, ia tidak suka seperti ini. Gista calon istrinya, dan miliknya. Dia salah satu tidak terima jika ada laki-laki lain tinggal bersama calon istrinya. Jelas saja mana ada yang terima diperlakukan seperti ini. Membiarkan kekasihnya bersama laki-laki lain. Oh Tuhan, baru saja ia memulai hubungan ini, ternyata wanita itu tidak sendiri di sini.

"Siapa laki-laki yang tinggal bersama kamu," ucap Rey, rahangnya mengeras, ia mengepalkan tangannya.

"Sahabat aku Bima," ucap Gista pada akhirnya, melihat Rey dengan berani.

"Brengsek !," dengus Rey.

"Kamu tidak punya hak untuk melarang sahabat aku tinggal di sini," ucap Gista tidak kalah emosi.

"Dia seorang laki-laki dan kamu seorang wanita. Tapi kalian tinggal bersama. Aku sebagai kekasih kamu jelas saja tidak terima, kamu tinggal sama dia !," hardik Rey.

"Dia sahabat aku !"

"Dan aku kekasih kamu ! aku punya hak atas kamu !" Ucap Rey keras.

Gista lalu terdiam mendengar suara keras Rey. Ia harus mempertahankan sahabatnya. Bagaimanapun Bima laki-laki yang selalu ada di sisinya.

"Dia sahabat aku, aku kenal dia udah lama. Kamu tidak ada hak untuk melarang dia tinggal sama aku," ucap Gista tak kalah emosinya.

"Kamu gila, mana ada yang seperti itu," dengus Rey tidak terima.

"Dengar Rey, aku sudah kenal dia lebih lama dari pada kamu. Sebelum ada kamu, dia selalu ada untuk aku. Ketika aku sakit, aku kelaparan tengah malam, lampu apartemen ku mati, siapa yang aku suruh, dia bukan kamu !. Kamu hanya laki-laki yang baru datang dalam hidup aku, jadi kamu tidak bisa melarang aku semena-mena seperti ini," ucap Gista penuh emosi.

Rahang Rey mengeras mendengar jawaban itu. Ia hampir gila memikirkan ini.

"Kamu calon istri aku ! tentu saja aku tidak terima !,"

"Dia hanya sahabat aku,"

"Sahabat macam apa seperti itu, jika kalian sudah tinggal bersama, hah !," ucap Rey keras. Ia tidak bisa membayangkan Bima dan Gista, tinggal bersama seperti ini.

"Persahabatan kami memang seperti ini, asal kamu tahu, dia sering tidur di sini sejak aku belum ketemu kamu,"

"Kamu tidak tahu hidup aku sebenarnya, karena kamu baru mengenal aku," timpal Gista lagi.

"Aku tidak memaksa kamu, memilih aku. Lebih baik aku bersama sahabat aku, dari pada kamu mengikuti semua mau kamu," ucap Gista, ia menahan amarah.

"Brengsek !," Rey menggeram, ia lalu menendang meja, hingga meja itu terjengkal kebelakang.

"Oke, kalau itu pilihan kamu," ucap Rey, ia lalu melangkah meninggalkan Gista begitu saja.

Laki-laki mana yang terima, kekasihnya bersama laki-laki lain. Jelas saja tidak ada persahabatan seperti itu, bahkan wanitanya memilih laki-laki brengsek itu dibanding dirinya. Ia sulit percaya, calon istrinya bertindak seperti itu hanya demi sahabatnya. Begitu besarkah persahabatan mereka hingga tega mengatakan itu kepadanya. Ia memang laki-laki egois tidak bisa membagi wanita nya bersama orang lain, walau atas nama sahabat sekalipun. Logika saja, jika wanita itu memilih sahabat dari pada kekasihnya. Pasti ikatan itu sangat dalam. Rey, mengatur nafas dan menepis air matanya.

Sementara Gista menahan tangis, menatap punggung Rey dari belakang. Kini menghilang dari balik pintu. Hatinya seketika sesak dan sulit bernafas. Oh Tuhan, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Selain menangis, Rey meninggalkannya seperti ini, hatinya terluka.

"Kamu tidak akan pernah tahu, apa yang terjadi hidup aku," isak Gista.

*********

FRIEND WITH BENEFIT (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang