BAB 36

1.5K 56 0
                                    

Kata-kata Rey masih terngiang-ngiang di kepalanya. Gista hanya diam tidak tahu akan bereaksi seperti apa, tepat jam sepuluh pagi di cafe Aroma Rey melamarnya. Ia tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan seorang Rey. Laki-laki itu berbicara cukup serius bukan seperti sedang bercanda. Tidak ada keraguan pada tatapan mata tajam itu.

Wow, ia sampai sekarang sulit percaya. Ia bahkan sulit bernafas untuk menjawab lamaran Rey. Ia wanita lajang berumur 27 tahun, tentu saja mendambakan untuk menikah. Entahlah ia harus bahagia atau apes dilamar oleh Rey. Wanita di luar sana pasti akan melompat lompat kegirangan. Percakapan yang tenang, tapi ada tersimpan makna di dalamnya.

Gista mengalihkan pandangnya ke arah cincin permata yang di sematkan Rey. Cincin ini seakan menjadi suatu pengikat hubungan dirinya dan laki-laki itu. Gista melirik Rey, laki-laki itu menyetir dalam diam, membiarkan ia dengan pikirannya.

"Ambilah cuti beberapa hari," ucap Rey, yang masih fokus dengan setir mobilnya.

"Kenapa?" Tanya Gista, ia masih sulit mengerti ucapan Rey, menyuruhnya cuti beberapa hari. Mungkin ia terlalu banyak memikirkan lamaran laki-laki itu.

"Ke Palembang,"

"Jadi kamu tadi serius," ucap Gista, ia menyandarkan punggungnya.

Rey menghentikan mobil, karena lampu merah menyala. Rey melirik Gista,

"Sejak kapan aku enggak serius dengan ucapan aku, Gis," ucap Rey tenang.

"Ya, tapi kenapa harus aku,"

"Emang kamu enggak suka aku lamar,"

"Eh, bukan seperti itu maksud aku Rey,"

Rey lalu tertawa, ia tersenyum menatap Gista, "Kamu sudah seharusnya menikah, sama seperti aku,"

"Kamu mau menunggu apa lagi, hemmm," ucap Rey.

Gista menarik nafas, otak pintarnya tidak berfungsi dengan baik, jika sudah seperti ini.

"Emangnya aku mau nunggu kamu hamil duluan, baru mau nikah," ucap Rey lagi di selingi tawa.

"Ih, tapi masalahnya bukan begitu," ucap Gista lalu cemberut, mendengar reaksi Rey, mengatakan hamil duluan.

"Jadi apa dong, coba jelasin sama aku, kamu mau gimana?" Ucap Rey, ia kembali melanjutkan perjalannya, karena lampu hijau telah menyala.

"Aku belum kenal kamu Rey," ucap Gista, begitu menyebalkan ia berkata seperti ini.

"Kita udah tidur sama sama, masa kamu belum kenal aku,"

"Bukan gitu," Gista sulit sekali untuk menjelaskan kepada laki-laki itu.

Gista kembali berpikir, "Terus kenapa kamu pecat Mimi," ucap Gista mengalihkan pembicaraan.

"Dia sudah kelewat batas terhadap aku, untuk apa dipertahanin karyawan seperti itu," ucap Rey tenang.

"Kelewat batas maksudnya apa?," tanya Gista penasaran.

Rey menarik nafas, melirik Gista, "Dia mau tidur sama aku, dan kamu tau lah aku tidak suka tidur dengan orang sembarangan,"

Alis Gista terangkat, seorang Mimi, ingin tidur dengan Rey. Pernyataan itu jauh berbeda dengan apa yang di ucapkan Bima. Ia tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah di sini.

"Masa sih," ucap Gista tidak percaya.

"Ya emang kenyataannya seperti itu, melihat tingkahnya saja, aku yakin dia sering tidur sama laki-laki lain,"

"Rey ...,"

"Memang seperti itu Gista, aku mau ngomong apa lagi sama kamu. Aku memang bukan laki-laki suci, aku normal, pikiran aku tentang sex itu ada setiap waktu. Aku pernah tidur dengan mantan mantan aku terdahulu, toh mereka juga tidak suci lagi,"

"Masalahnya di mana, aku sudah tiga puluh enam tahun, aku mendambakan seorang istri yang melayani aku. Aku ingin seperti teman-teman aku, yang telah menikah, bahkan mereka sudah memiliki anak,"

"Aku seorang laki-laki yang mendambakan memiliki keluarga kecil yang bahagia. Aku ingin memiliki istri, aku ingin memiliki keturunan. Aku ingin pulang dari kerja di sambut istri, dan paginya mengantar anak sekolah." ucap Rey.

"Ya aku tahu itu," ucap Gista.

"Kamu mau tahu kenapa aku memilih kamu?" Tanya Rey.

"Kenapa?" Tanya Gista.

"Seperti yang kamu jelaskan di awal pertemuan kita. Kamu tidak egois, tidak melampaui kerjaan suami kamu, kamu ingin full untuk keluarga. Aku sudah membayangkan itu indah sekali di jalani," ucap Rey.

"Aku pernah bertanya kepada mantan-mantan aku terdahulu. Dengan pertanyaan yang sama seperti yang aku tanyakan kepada kamu. Mantan aku berprofesi sebagai model, publik figur, bahkan ada yang dokter. Mereka tidak bisa meninggalkan profesi mereka. Mereka memiliki alasan yang sama seperti kamu, katanya mereka bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Tidak ada jawaban yang semenarik kamu. Kamu menguraikannya cukup cerdas, kenapa kamu rela meninggalkan jabatan kamu, walau kamu sedang berada di puncak karir kamu sekalipun demi keluarga,"

"Dan aku sependapat dengan kamu, aku menginginkan istri yang full di rumah dan menjaga anak-anak kita," ucap Rey.

"Kita sudah dewasa, tidak perlu menguraikan kata-kata cinta di sana. Cukup hidup bersama, membangun keluarga kecil kita, dan kita liburan,"

"Untuk masalah cinta, cinta itu akan tumbuh dengan seiringnya waktu, percaya aku setelah menikah kita akan menumbuhkan benih-benih cinta itu," ucap Rey lagi.

Gista hanya terdiam mendengar ucapan Rey. Kata-kata itu memang benar adanya, sehingga ia tidak tahu akan berkata apa. Wanita mana yang akan menolak jika seorang laki-laki seperti Rey menikahinya.

"Tapi kamu tidak bertanya apa aku menerima lamaran kamu," ucap Gista lagi.

Rey terangkat lalu menepikan mobilnya di pinggir jalan. Itu adalah pernyataan yang ingin ia dengar dari bibr tipis itu.

"Jadi kamu menolak lamaran aku?" Tanya Rey.

"Aku kan enggak ada ngomong menolak lamaran kamu Rey," ucap Gista, jengah. Susah berkata kepada Rey Basudewa.

"Jadi kamu menerima lamaran aku,"

"Belum apa-apa kamu sudah egois seperti ini," dengus Gista.

"Jadi kamu maunya gimana sayang," ucap Rey mendekati Gista, ia memegang dagu wanitanya.

"Ya setidaknya kamu bertanya apa aku menerima lamaran kamu atau enggak. Sumpah aku masih terkejut, beri jeda aku untuk berpikir. Kamu selalu memutuskan tanpa mempertimbangkan aku terlebih dahulu," ucap Gista.

Rey mengecup bibir Gista sekilas, sungguh menggemaskan sekali wanitanya seperti ini,

"Kita sudah tidur bersama, dan aku orang yang pertama. Jadi aku akan bertanggung jawab," ucap Rey.

Gista mengedikkan bahu, dan ia lalu mengangguk, "Ya iyalah kamu yang bertanggung jawab, masa laki-laki lain," dengus Gista.

Rey lalu tertawa ia mengecup bibir itu lagi dan Gista tidak menolak. Ia memang selalu kalah jika berhadapan dengan Rey.

"Ke apartemen aku dulu ya sebentar," bisik Rey, setelah melepaskan kecupannya.

"Ngapain, ini jam kerja loh," ucap Gista, ia menyelipkan rambut di telinganya.

"Aku kangen sama kamu," ucap Rey, ia mengedipkan mata menggoda Gista.

"Kangen kamu itu sungguh mengerikan," timpal Gista.

"Tapi kamu menyukainya," ucap Rey lagi, lalu melanjutkannya perjalannya.

**********

FRIEND WITH BENEFIT (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang