BAB 43

1.6K 46 0
                                    

Bima memarkir mobilnya area depan rumah sakit Pondok Indah Puri Indah. Di sini lah Mita di larikan. Ia sungguh mencemaskan keadaan Mita. Bima berlari menuju Unit Gawat Darurat, ia mencari sosok orang tua Mita. Ia menghentikan langkahnya mendapati pak Roby dan Istrinya, beserta wanita muda berseragam putih biru yang duduk di ruang tunggu. Raut wajah itu penuh kesedihan, dan istri pak Roby menangis tersedu-sedu.

Bima tidak tahu apa yang terjadi, air matanya jatuh dengan sendirinya. Hatinya sesak, dan sulit bernafas, ia bahkan belum tahu apa yang terjadi di sana. Bima melangkah mendekati keluarga kecil itu. Wanita berseragam putih biru memandangnya. Gadis kecil itu juga menangis dan terlihat jelas penuh kesedihan. Bima tahu bahwa itu adalah Indah, adiknya Mita. Pak Roby menyadari kehadirannya dan lalu berdiri. Laki-laki separuh baya itu juga menangis.

Bima menepis air mata, ia berusaha tegar, "Apa yang terjadi," ucap Bima dengan suara bergetar.

"Apa kata dokter," ucap Bima parau, ia tahu bahwa tidak ada yang beres di sini.

Bima menatap istri pak Roby masih menangis tersedu-sedu. Lihatlah bahkan mereka tidak sanggup untuk mengucapkan satu katapun untuk menjelaskan kepadanya.

"Apa yang terjadi pada Mita," isak Bima, ia bertanya kepada Pak Roby, beliau saja sepertinya tidak sanggup untuk menjelaskan.

Pak Roby berusaha tenang, ia menatap Bima, ia memejamkan mata sejenak berusaha tegar.

"Mita kemungkinan infeksi darah," ucap pak Roby parau.

Bima menggigit bibirnya, air matanya kembali jatuh, "Infeksi Darah," ucap Bima, mengulang pernyataan pak Roby, ia mengusap air mata.

"Ya, Mita kemungkinan besar infeksi darah," ucap pak Roby, tak kuasa menahan tangis.

"Pneumonia yang di alami Mita menyerang sistem kekebalan tubuhnya. Sekarang Mita harus menjalani perawatan intensif,"

Jujur ia tidak tahu infeksi darah itu apa, tapi mendengar penjelasan dari pak Roby sama sekali tidak berarti apa-apa. Yang pasti itu sebuah penyakit yang cukup serius. Infeksi darah bukan penyakit sembarangan, karena berhubungan dengan darah. Hati Bima begitu sakit mendengar itu. Ia tidak kuasa menahan tangis, ia menjauhi pak Roby, ia hanya tidak ingin pak Roby melihatnya menangis dan terpukul. Ia perlu menenangkan hatinya. Ia memilih berjalan menuju koridor depan. Ia lalu meninju dinding, hatinya begitu sakit mendengar kenyataan ini.

Bima memegang dada kirinya, ia menangis dalam diam. Oh Tuhan, kenapa wanita itu Kau beri penyakit serius itu kepada Mita. Wanita itu masih muda, memiliki masa depan yang panjang.

Baru beberapa hari yang lalu, ia masih melihat senyum cantik itu. Mereka berenang bersama, tertawa bersama, berlari bersama dan tidur bersama. Jujur ia hampir gila mendengar ini semua, jika boleh memilih ia ingin menukar nyawanya kepada Mita. Biarkan saja ia yang berada di sana, bukan wanita muda itu. Inilah titik paling rapuh, yang pernah ia alami dalam hidupnya. Lihatlah wanita cantik itu terbaring lemah di sana, berjuang melawan maut.

Masih teringat jelas diingatannya, gadis kecil itu mengatakan menerima ia apa adanya, dan tidak akan membiarkan dirinya sendirian. Dia ingin merasakan jatuh bangun bersama, tertawa dan menangis bersama. Dia juga mengatakan bahwa akan menggenggam tangan, hingga mencapai kesuksesan.

Tapi sekarang, lihatlah jangankan menggengam tangannya. Mencoba membuka matanya saja dia tidak bisa. Bima menepis air mata, Kini ia malah menangis tersedu-sedu. Ia dan Mita pernah memikirkan bagaimana kelak ia akan membangun sebuah keluarga.

Seorang Mita tidak sempat menikmati masa masa mudanya. Seperti teman-teman sebayanya. Jalan-jalan ke mall, liburan ke luar negri, kuliah, dan nonton bioskop. Tapi Mita mejalani hidup tidak selayaknya orang-orang yang mempunyai fisik sempurna seperti dirinya. Bima menatap langit langit plafon, agar tangisnya mereda. Jangankan untuk memikirkan masa depan bersama Mita, untuk membayangkan lusa, bulan, dan tahun bersama Mita saja, ia tidak berani.

Untuk bertemu dengan wanita itu hari esok merupakan suatu kemewahan. Ia hanya ingin mendengar kata sembuh di sana.

Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan. Apakah aku harus menyalahkan Tuhan, jika melihat keadaan ini.

Bima masih ingat, Mita selalu memperlihatkan senyum simpul, dan tawa bahagianya. Kesakitan yang ia rasakan sama sekali tidak ia perlihatkan. Ia pikir wanita itu benar-benar sembuh. Tapi di dalam itu ia meregang kesekitan.

Bima menatap langit-langit plafon, agar meredakan tangisnya, tapi justru tangisnya semakin jadi membayangkan Mita. Bima merasakan sebuah jemari menoel tangannya. Bima menatap seorang wanita berseragam putih biru. Ia tahu bahwa itu adalah Indah adiknya Mita. Wajah mereka hampir sama, mereka sama-sama dikaruniai wajah cantik. Bima dengan cepat menepis air mata dengan punggung tangannya. Mata wanita itu juga sembab, habis menangis, terlihat kesedihan teramat sangat, sama seperti dirinya.

Wanita itu menyodorkan tisu, Bima lalu meraihnya, Indah tahu ia memerlukan tisu, untuk mengusap air matanya.

"Terima kasih," ucap Bima, ia mengusap air matanya dengan tisu. Ia memandang Indah yang kini duduk di sebelahnya.

"Bima pacarnya Mita kan," ucap Indah.

"Iya," ucap Bima pelan,

Indah lalu mengeluarkan sesuatu dari balik tas ransel. Ia menyerahkan sebuah buku bersampul biru kepada Bima.

"Ini buku diary Mita. Indah enggak sengaja dapat di bawah bantal Mita tadi, sebelum di larikan ke rumah sakit," ucap Indah.

Bima meraih buku bersampul biru itu dari tangan Indah. Buku berukuran sedang lalu ia pegang.

"Indah sama mami udah baca, dan kayaknya ini memang untuk Bima," ucap Indah pelan.

Bima menatap Indah, mata itu juga berkaca-kaca, menahan tangis.

"Bima, Indah ke tempat mami dulu ya. Kita hanya bisa berdoa, yang terbaik untuk Mita," ucap Indah, ia mengusap air matanya dengan tisu.

Bima memandang tubuh Indah dari belakang yang kini telah meninggalkannya. Bima kini beralih menatap buku diary bersampul biru. Ia lalu membuka halaman pertama. Ia memandang wajah cantik Mita, yang di ambil selfie sang pemilik diary. Air matanya kembali jatuh, hatinya terenyuh menatap senyum simpul yang selalu di perlihatkan oleh Mita. Senyum cantik itu lah yang selalu ia rindukan. Hatinya kembali sesak, dan ia terisak.

Bima membuka halaman pertama, dan ia mulai membaca setiap deretan huruf yang ada di sana.

13 April,
Kini aku percaya, bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada. Aku terpana dengan tatapan teduhnya. Dia bernama Bima, bekerja di salah satu hotel milik papi. Sekarang aku mulai memikirkannya.

14 April,
Akhirnya aku tahu bahwa dia adalah I made Bimasena Wasupati. Papi mengatakan dia merupakan salah satu karyawan terbaik yang di miliki papi. Aku bahagia, dan ingin segera bertemu dengannya.

15 April,
Pagi-pagi sekali aku pergi ke hotel, bertemu dengan chef Arnold. Aku meminta chef Arnold membuatkan sushi yang paling enak.

Bima tersenyum membaca kalimat itu. Ia pikir Mita yang membuatnya sendiri. Pantas saja rasanya begitu enak ternyata chef Arnold yang membuatnya. Bima kembali melanjutkan kata-kata di sana.

Aku tidak ingin dia kecewa, karena ini merupakan awal pertemuan kami. Aku bahagia, ternyata dia menyukai sushi yang aku bawa. Dia memakannya dengan lahap. Aku tidak percaya dia mengajakku makan siang bersama. Itu adalah makan siang terindah yang pernah aku lewati sepanjang hidupku. Rasa pahit yang selalu aku rasakan di setiap makanan, kini terasa manis.


16 April,
Aku senang, akhirnya aku bisa menghubunginya. Dia mengucapkan selamat malam dan semoga mimpi indah.

Dia tidak menolak kehadiranku, dan dia sepertinya menyukaiku juga. Ah, mungkin ini perasaan aku saja. Tidak apa-apa yang penting aku bahagia.

Air mata Bima kembali jatuh, ia tidak kuasa menahan tangis. Ia sepertinya tidak sanggup membaca buku diary wanitanya.

************

FRIEND WITH BENEFIT (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang