BAB 40

1.6K 64 2
                                    

Kejadian semalam merupakan pertengkaran terhebat yang pernah ia alami bersama Bima. Pagi-pagi sekali Gista sudah bangun, ia memandang Bima yang tidur di sofa. Ia tidak tahu kenapa laki-laki itu bisa tidur di sana. Ada beberapa putung rokok dan dua kaleng beer zero yang sudah kosong berserakan di lantai. Mungkin Bima membeli itu di indomaret tadi malam.

Jujur Bima bukan perokok, dan sama sekali tidak pernah melihatnya merokok. Mungkin Bima terlalu kecewa memilih rokok sebagai pelariannya. Bima tidak mungkin melakukan itu, jika tidak benar benar banyak masalah. Gista menatap bungkus rokok berwarna putih, ia melihat isinya. Isi rokok itu masih banyak, ternyata Bima menghisap dua putung rokok di sana. Gista menarik nafas, ia memasukan rokok itu ke tempat sampah dan berserta kaleng beer itu yang sudah kosong isinya.

Gista baru kali ini melihat apartemennya berantakkan. Terlebih bua koper Bima masih di dekat lemari yang masih belum ia pindahkan ke dalam lemari. Pecahan kaca masih berserakan di lantai. Oh Tuhan, tadi malam merupakan kekacauan terparah selama ia bersama Bima. Gista mengingat rambutnya secara sembarang, ia tahu Bima masih terlelap, bahkan tidak sadar ketika ia menyelimuti laki-laki itu.

Setelah tidur hatinya kembali lega, setidaknya ia masih normal dan bisa bekerja mengemasi apartemennya bak kapal pecah. Setelah menyapu dan mengepel, Gista membuat sarapan untuk Bima. Ia ingin melupakan apa yang telah terjadi tadi malam. Beberapa menit kemudian ia selesai mandi, dan sudah berpakaian rapi siap untuk pergi ke kantor. Ia duduk di kursi menatap Bima, yang masih belum terbangun dari tidur panjangnya.

Walau mereka bertengkar hebat, laki-laki itu masih setia di sini bersamanya. Gista telah menyiapkan nasi goreng dan secangkir kopi pahit untuk Bima. Ia masih menunggu laki-laki itu bangun. Perlengakapan baju Bima untuk ke kantor telah ia siapkan. Gista melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 07.12 menit. Ia harus membangunkan Bima. Karena jam delapan mereka biasanya sudah harus pergi.

Gista menarik nafas panjang, mendekati Bima. Ia menggoyangkan bahu Bima,

"Bim, bangun ini udah jam tujuh," ucap Gista pelan.

"Bim, bangun ini sudah jam tujuh, enggak kerja?" Ucap Gista.

Bima membuka matanya secara perlahan. Ia mendengar suara Gista membangunkan tidurnya. Ia memfokuskan penglihatannya. Awalnya kabur, lama kelamaan ia menatap wajah cantik Gista. Inilah yang paling ia rindukan, ketika ia terbangun memandang wajah cantik itu.

Bima merenggangkan otot tubuh, badannya seakan remuk, rasa pegal menjadi satu, kerena tidur di sofa sempit itu. Bima memijit kepala, merasakan kepalanya yang sedikit berat.

"Jam berapa?" Tanya Bima, suara serak khas bangun tidur.

"Jam tujuh lewat," ucap Gista lalu kembali duduk di sofa.

Bima merubah posisi tidurnya menjadi duduk, ia memandang Gista. Wanita cantik itu sedang duduk tidak jauh darinya. Mata sembab Gista, telah dia tutupi dengan sapuan make up. Walaupun begitu masih terlihat cantik.

"Mandi dulu gih, gue udah siapin air hangat untuk lo dan handuknya sudah gue taruh di dekat mesin cuci," ucap Gista lagi.

Bima menarik nafas, memandang di apartemen Gista, yang sudah tampak rapi seperti biasa. Gista memang selalu cekatan mengemasi rumah. Aroma rosemary begitu menyegarkan, inilah alasan ia betah di sini.

"Tunggulah bentar," ucap Bima, ia melangkah menuju kamar mandi, ia juga perlu menyegarkan tubuhnya.

***********


Beberapa menit kemudian, Gista memandang Bima keluar dari kamar mandi. Handuk putih itu melingkar di sisi pinggang, sekilas Bima menatapnya, dan lalu berlalu menuju kamar. Mungkin berganti pakaian.

"Gis ...," ucap Bima

"Ya," ucap Gista ia memandang Bima yang sedang mengenakan kemeja.

"Kemarilah," ucap Bima lagi.

Gista menarik nafas panjang, ia mendekati Bima. Berkata seperti ini, seolah pertengalkaran semalam telah mereka lupakan.

"Apa,"

"Kancingi baju aku," ucap Bima, ia sengaja meminta Gista melakukannya, karena ia ingin dekat dengan wanita ini. Ada sesuatu yang ia ingin sampaikan, ia sudah memikirkan ini tadi malam, dan otaknya hampir pecah.

"Biasanya juga sendiri," gumam Gista, ia mulai merapikan kerah baju Bima, dan kini mengancingi kemeja itu.

"Gis ...,"

"Hemmmm,"

"Kita menikah saja kalau begitu,"

Gista menghentikan aktifitasnya dan memilih menatap Bima. Tidak ada keraguan dari laki-laki itu, wajah itu terlihat begitu serius.

"Sebaiknya kita menikah saja," ucap Bima lagi.

Jantung Gista berdegup kencang, ia tidak tahu bagaimana Bima bisa mengambil kesimpulan bahwa ingin menikahinya.

"Kamu berkata seperti itu, mungkin efek mabuk," elak Gista,

"Itu beer biasa, apalagi hanya dua kaleng, kalau Jack Daniel yang aku minum, mungkin kamu bisa mengatakan seperti itu," ucap Bima, Bima mulai ber aku - kamu.

Gista lalu melanjutkan aktifitasnya, mengancingkan baju kemeja itu secepatnya. Ini lamaran ke dua setelah Rey.

"Kamu bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, aku sudah enggak suci lagi," ucap Gista, ia menjauhi Bima dan memilih duduk di kursi pantry.

"Enggak apa-apa aku terima. Aku udah mikirin ini semalaman dan keputusannya kita menikah saja," ucap Bima, ia merapikan pakaiannya.

Gista memijit kepalanya, mendadak ia sakit kepala memikirkan Bima. Ia memilih aman, tidak ingin bertengkar pagi-pagi seperti ini.

"Bukannya kamu dekat sama anaknya pak Roby," ucap Gista.

"Aku akan melepas dia, seperti pacar aku sebelumnya," ucap Bima tenang.

"Tapi Bim ...,"

"Kita hidup di Bali, di sana lebih tenang dan lebih aman," ucap Bima, ia mendekati Gista, yang tengah memandangnya.

"Mari kita hidup di Bali, percaya aku di sana lebih menyenangkan, dari pada di sini," Bima meraih tangan Gista, ia usap punggung tangan itu.

"Kamu mau kan, ini permintaan aku," ucap Bima lagi.

"Kita dua orang yang selling melengkapi satu sama lain. Aku dan kamu sudah kenal cukup lama. Setiap hari kamu juga nyiapin aku sarapan, nyeterikain baju aku, ngemasi barang barang aku. Kamu bahkan sudah tahu berapa nominal uang yang ada di ATM aku. Kita sudah seperti suami istri. Belum tentu orang baru bisa melakukannya dengan baik, seperti kamu," ucap Bima, ia mengelus wajah cantik Gista

"Mau kan," ucap Bima lagi.

Gista menatap Bima, ia tidak kuasa untuk menolak permintaan sahabatnya ini. Ya apa yang di katakan Bima memang benar adanya, mereka memang sudah seperti ini sejak lama.

"Tapi Bim ...,"

"Aku ingin kita hidup bersama," ucap Bima, ia mengecup punggung tangan Gista.

"Aku sudah membayangkan, betapa cantiknya kamu mengenakan kebaya ke pura,"

Gista menarik nafas panjang, suasana mendadak gerah. Gista mencoba tersenyum, ia lalu memeluk tubuh Bima. Air matanya kini jatuh dengan sendirinya. Ia tidak menjawab pertanyaan Bima, ia hanya ingin memeluk tubuh Bima itu saja. Ia masih terlalu bingung dengan hatinya, di satu sisi ia memikirkan Rey.

Bima membalas pelukkan Gista, ia mengecup puncak kepala itu berkali-kali. "Aku sayang banget sama kamu," ucap Bima.

Bima melonggarkan pelukkanya, menatap wajah cantik Gista. Ini adalah wanita yang selalu menghiasi hari-harinya. Ia tidak rela jika ada laki-laki mengambil darinya. Walau Rey telah mengambil kehormatan wanita ini. Ia akan tetap mempertahankan Gista di sisinya.

Bima lalu memangut bibir tipis Gista. Inilah pertama kalinya ia melumat bibir tipis Gista, ia akan melakukannya dengan segenap perasaanya.

"Aku enggak mau kehilangan kamu," ucap Bima, di sela sela kecupannya.

**********

FRIEND WITH BENEFIT (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang