6

181 5 0
                                    

                "Ibu mau kemana?" Tanya Nara saat dilihatnya ibunya sedang berdandan di depan kaca.

Erna menoleh, lantas tersenyum saat mendapati anaknya sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

"Kok udah pulang? Nggak kerja?" Erna menggeser pandangannya pada jam beker disampingnya. Waktu masih menunjukkan pukul 7 malam, tapi anaknya sudah di rumah saja, tak seperti biasanya.

"Libur." Jawab Nara singkat, padat dan jelas.

Erna mengangguk. Ia lantas kembali bersolek di depan cermin.

"Ibu mau kemana?"Nara penasaran. Tidak mungkin bukan jika ibunya mau tidur dengan make-up setebal itu.

" Ibu masih sakit!"

Erna tertawa lebar. Lantas kembali memandang Nara yang menatapnya penuh intimidasi.

"Ibu ada job." Jawabnya. " Katanya masih muda. Dan ibu dibayar 3 kali lipat. Udah di transfer malah" Erna tertawa lebar. Seolah ia sedang menemukan sebuah oase di padang gurun terik. Apakah mendapatkan pelanggan bisa sebahagia ini? Apakah menjual tubuh bisa semenyenangkan ini?

Nara mendesah jengah. Baru kemarin ibunya hampir mati dijadikan bulan-bulanan wanita itu, dan hari ini ibunya sudah mulai lagi.

"Kenapa ibu menerimanya sih? Bisakah ibu berhenti!" Nara berseru histeris. Apa lagi yang harus dilakukannya agar ibunya sadar dan mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Apa tidak cukup penghinaan yang mereka dapatkan selama ini?

"Adikmu butuh biaya untuk masuk SMP Ra." Jawab ibu pelan. Iya, selain Nara, Erna masih punya satu anak laki-laki berumur 12 tahun bernama Adam. Yang sekarang ikut nenek, karena Nara tidak ingin adiknya mengetahui pekerjaan ibunya. Cukup ia dan ibunya yang tahu betapa tidak baiknya pekerjaan ini, cukup ia dan ibunya yang tahu bagaimana rasanya terus menerus dihina tetangga. Tapi Adam jangan.

"Nara yang akan carikan uang buat Adam!"

Erna berdecih.

"Kamu pikir ibu tidak tahu kalau untuk membiayai hidupmu sendiri saja kamu kesulitan? Apalagi kamu juga berniat untuk meneruskan sekolah ke luar negeri!"

Nara tak menjawab. apa yang dikatakan ibunya benar, kalau bukan karena beasiswa, ia tak mungkin bisa melanjutkan sekolah.

"Sudahlah, biar ibu berangkat!"

Nara menatap ibunya nanar.

"Ibu, lihat kondisi ibu! Jalan saja masih pincang, wajah lebam-lebam. Apa yang ibu pikirkan!" protes Nara memperhatikan pergelangan kaki dan wajah ibunya yang masih membiru.

"Ah, kan bisa ibu tutupi pakai bedak." Erna lalu menyapukan bedak lagi ke mukanya.

Nara menatap Erna jengah. Apa belum cukup cibiran dan cemooh orang-orang padanya? Apa ibunya tidak bisa mencari pekerjaan lain selain menjadi pelacur? Apa benar karena tidak ada pilihan lain? Akh tidak mungkin. Bukankah hidup adalah pilihan!

"Berikan ponsel ibu!" Nara berjalan ke arah ibunya, berusaha mengambil ponsel ibunya yang tergeletak di atas meja rias.

"Buat apa?" Erna coba menghalangi, namun Nara sudah lebih dulu mengambil benda pipih itu dengan cepat.

"Biar Nara yang pergi ganti'in ibu!" Matanya memerah, ia hampir menangis. Tidak mengira jika akhirnya ia akan mengatakan hal itu pada ibunya. Menggantikan pekerjaan ibu? Menjadi seorang pelacur?

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang