37

94 7 1
                                    

                Pantai...

Tempat paling nyaman bagi Nara untuk melepaskan segala beban hidup, sambil melihat ombak berkejar-kejaran, angin lembut yang membelai wajah serta jika beruntung mendapatkan bonus sunset indah di sore harinya.

Waktu kecil, Ayahnya sering mengajaknya ke pantai. Katanya, pantai adalah tempat terbaik untuk berteriak. Melepaskan segala perasaan agar dibawa pergi bersama ombak. Dan begitulah, hal itu yang dilakukanya sekarang.

"Kenapa berteriak? Nanti suaramu habis!" Rei datang menghampiri Nara yang terlihat mengatur nafas setelah teriakannya yang nyaring.

"Hanya ingin tahu, apa paus di dalam sana bisa terbangun karena suaraku." Jawabnya tersenyum. Benar kata ayahnya, perasaannya lega setelah mengeluarkan semua pikirannya lewat teriakan.

Rei mengulum senyum, merain jemari Nara lalu mengajaknya untuk berjalan di sepanjang bibir pantai dengan kaki telanjang. Menikmati sore yang dipenuhi dengan nyanyian camar serta teriakan-teriakan anak kecil bermain pasir.

"Terakhir kesini sepi. Tapi hari ini ramai..." desis Nara, memperhatikan dua anak balita yang sedang asyik bermain membuat istana pasir. Di antara mereka berdiri kedua orangtuanya, mengawasi mereka penuh kasih. Jauh di pikiran Nara, berbagai gejolak muncul. Hubungan yang dijalaninya dengan Rei bukanlah cinta monyet seperti Harvey katakana waktu itu. Terkadang ia bahkan menginginkan bahwa pria itu akan menjadi miliknya yang utuh suatu saat nanti dan mendapatkan beberapa anak yang lucu seperti mereka. Namun sepertinya, hal itu hanyalah bayangan Nara yang tak akan pernah menjadi nyata.

"Jika kita nanti menikah, aku ingin punya dua anak lucu seperti itu." gumam Rei kemudian, menarik senyum saat salah satu anak melambaikan tangan padanya. Cowok itu seperti mengerti apa yang Nara pikirkan.

Nara menoleh, bimbang akan perasaannya yang tercabik setelah Rei mengatakan hal tersebut. Baru saja ia memikirkan hal itu, Rei malah dengan gamblang membuat hatinya menjadi rapuh berantakan.

"Heiii.....umurmu masih sangat muda Tuan! Berhentilah membicarakan pernikahan!" ia melengos.

"Apa kamu tidak mau menikah denganku?" Rei menarik tangan Nara, agar cewek itu lebih mendekat padanya.

Nara berdecih, ia lantas mengalihkan pandangannya pada matahaari yang hampir tenggelam di garis cakrawala.

"Lihat Rei. Sunsetnya indah sekali!" ia menunjuk ke laut lepas. Senyum hampanya jelas terlihat, namun Rei tak menyadari itu.

Rei mengalihkan pandangnya pada arah yang ditunjuk Nara, sebuah lukisan indah dari sang pencipta terpampang indah di hadapan mereka, ditambah deburan ombak menabrak karang serta gerombolan suara camar yang hendak pulang ke sarang mereka masing-masing.

"Rei..." Desis Nara halus. "Aku mencintaimu..."

Rei menoleh, menatap sepasang mata indah itu mengeluarkan air mata.

"Ra...kamu kenapa?" ia mengerutkan kening.

"Boleh aku cium kamu?"

Rei menaikkan alis. Merasa aneh dengan permintaan cewek di sampingnya ini.

Rei mengangguk. "Tentu saja...."

Nara tersenyum, maju satu langkah agar bisa lebih dekat dengan cowok itu, berjinjit, melingkarkan kedua lengannya di leher Rei kemudian mengecup bibir cowok itu dengan lembut.

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang