21

113 4 0
                                    

                "Jadi, ini nich apartment Rei. Bagus kan?" Sejak pertama kali mereka menapakkan kaki didepan pintu, Lucita tak henti-hentinya menjelaskan seluk beluk apartement berkonsep minimalis itu macam sales pada ketiga temannya.

Dari sekian mata yang menyimak dan mengikuti arah Lucita, hanya Cindy yang tampak antusias. sedangkan Evander, Nara dan bahkan sang pemilik apartement hanya mengikuti tanpa menunjukkan sebuah rasa tertarik sama sekali. Evander bergulat dengan pikirannya tentang Nara, Nara bergulat dengan perasaan risihnya saat Lucita dengan gamblang menjelaskan setiap sudut apartement Rei seolah dia pemiliknya, dan Rei bergulat dengan perasaan bersalahnya tentang kejadian malam minggu kemarin. sejak tadi ia ingin bertanya pada Nara, namun selalu tak ada kesempatan karena Lucita terus mengekornya.

"Oke, udah paham kan?" Lucita mengakhiri acara jelajahnya di ruang tamu. Ia lantas menjatuhkan tubuhnya pada sofa empuk warna soft blue di tengah ruangan.

"Apartement kamu besar juga." gumam Evander acuh tak acuh lalu mengambil segelas soda dan menyesapnya perlahan.

"Jelas dong!" timpal Lucita, ia menggigit ujung pizza yang dipegangnya. Sebelumnya dia sudah memesan beberapa cemilan untuk mereka makan di tempat ini. Mulai dari pizza, burger, kentang goreng dan beberapa gelas minuman.

"Asyik ya, kalau begitu lo sering dong main kesini. Secara Rei kan sendirian!" Cindy menyenggol lengan Lucita sambil mengerjapkan mata.

Lucita melirik Rei kemudian tersenyum.

"Rahasia dong!" ujarnya kemudian, membuat Rei membuang muka dan mendesah jengah. "Aku sama Rei........" ia menggantung kalimatnya.

Evander yang sedang mengunyah pizza-nya dengan nikmat menjeda kunyahannya dan melirik Nara yang terlihat tidak nyaman.

"Auuuw......bibir aku sakit!" ringisnya tiba-tiba memegangi pipinya.

"Kenapa van?" Nara buru-buru mengambilkan tissue yang letaknya persis di depannya. Setiap kali Evander memperlihatkan ekspresi seperti itu, ia merasa sangat bersalah.

"Memarnya masih sakit nih." Evander menerima tissue itu lalu mengelap ujung bibirnya dari sisa remahan pizza.

Lucita mendengus. Merasa sedikit kesal karena Evander menyela kalimatnya.

"Makanya jadi orang nggak usah sok jadi pahlawan kalau ujung-ujungnya kamu sendiri ya repot!" sewotnya.

Evander melirik Lucita kemudian berdecak sebal.

"Nih Evan, minum air putih dulu biar gak nyeri lukanya." Cindy menyodorkan sebotol air putih kemasan yang diterima Evander dengan gumaman terimakasih. Ia bernafas lega, setidaknya kepura-puraannya tadi membuat Lucita tidak meneruskan kalimat yang membuat Nara merasa tidak nyaman.

"Sebenernya kamu adu jotos sama siapa sih Van?" Lucita kembali angkat bicara, ia kembali menyumpalkan potongan pizza kedua ke dalam mulutnya. "Kamu tahu nggak Rei?" ia berganti pandang pada Rei yang duduk diam di sampingnya.

Rei mengedikkan bahu tak peduli, ia lantas mengikuti langkah Lucita mengambil potongan Pizza dan memakannya. Sedetik kemudian ia melirik Nara yang makan sepotong burger dengan diam-diam. Sebersit keinginannya untuk meraih tangan cewek itu dan mengajaknya berlari meninggalkan ruangan tak nyaman ini namun tentu saja diurungkannya. Ia ingat kalimat Nara jika tak boleh ada yang tahu tentang hubungan mereka, dan Rei harus menjaga permintaan Nara tersebut. Meskipun bagi Rei tidak akan masalah jika seluruh dunia tahu semuanya.

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang