Pintu lift apartement itu terbuka, dan Rei baru saja melangkah keluar saat matanya tertumbuk pada seseorang yang berdiri tegap di depan pintu kamarnya. Melihat Rei datang, Anan langsung memutar badan kearahnya, lantas berjalan mendekati Rei.
"Ada apa?" Rei menatap Anan tak berkedip. Ia lantas menghentikan langkah tepat di depan pria ber-jas abu-abu tersebut. Rei tau jika ada hal penting yang ingin pria itu sampaikan padanya. Karena tak biasanya Anan menunggunya di depan pintunya tanpa mengabari terlebih dahulu.
"Tuan Harvey ingin bertemu." Jawab Anan singkat, padat jelas. Pria itu memang tidak suka bertele-tele.
Rei mengusap wajahnya, ia lantas membuang pandang ke arah lain. Sepertinya ia sudah mulai mengerti kenapa tiba-tiba papanya hendak menemuinya.
"Bilang, aku tidak bisa. Sibuk."
"Mas Rei harus datang." Anan menjeda kalimatnya. "Malam ini."
Rei menaikkan alisnya. Meskipun predikatnya hanyalah seorang putra, namun ia tidak suka jika dipaksa-paksa seperti ini.
"Kenapa? Aku tidak ingin bertemu papa."
Anan menunduk, ia megambil nafas pelan.
"Mas harus pergi." Paksa Anan lirih, membuat Rei menatap wajah tertunduk itu dengan alis terangkat. "Karena saya akan di pecat jika mas tidak mau menemui Tuan malam ini."
Seharusnya Rei tahu, jika Harvey adalah manusia yang hidupnya penuh dengan ancaman pada orang lain. Dan salah satunya adalah orang tak bersalah seperti Anan. Ia menggunakan Anan sebagai dasar ancamannya. Jika Rei tak datang, Anan dipecat. Lagu lama memang, namun demi asistennya itu ia rela datang menemui seseorang yang akhir-akhir ini tak begitu dipikirkannya lagi.
Lantas apa lagi ancaman yang akan diberikan Harvey nanti malam, saat Rei menemuinya?
****
Untuk kali pertama setelah kepergiannya dari rumah, akhirnya Rei kembali menapaki rumah besar berlantai dua ini. Semuanya masih tetap sama, sepi dan hening yang mencekat seolah sudah menjadi pertanda bahwa rumah keluarga Harvey memang begini adanya. Jauh dari kesan hangat, dan bahkan harmonis.
Seorang pelayan tersenyum melihat tuan mudanya datang malam ini, namun sejurus kemudian ia sudah mempersilakan Rei untuk langsung saja ke ruang kerja Harvey karena lelaki itu sudah menunggunya di sana.
Rei tak perlu banyak bicara. Apalagi basa-basi tentang kabar dan keadaan rumah selama ini. Buat apa? ia sudah bisa membaca semuanya dari keadaan hening ini.
Cekrek.
Pintu kayu berwarna coklat tua itu terbuka. Harvey mengangkat dagu, sesaat kemudian ia sudah menutup kertas-kertasnya, menurunkan kacamata baca ber-frame hitam itu lalu melipat tangannya di atas meja. Menunggu Rei untuk maju dan menyapanya.
"Ada apa papa memanggil Rei kemari?" tanya Rei to the point saat ia kini berdiri tepat di depan papanya, berseberangan dengan meja kerja lebar berbahan kayu jati dengan cat warna coklat.
Harvey tersenyum sinis, sudah tidak kaget sebenarnya dengan watak anaknya yang keras seperti dirinya. Bahkan selama 10 tahun Rei di Amerika, ia sudah sering mendengar jika putranya itu membangkang pada guru-gurunya jika tak sesuai dengan keinginannya.
"Mau minum? Papa kemarin bawa kopi dari Brazil?" Harvey mengangkat badannya, lalu mengayunkan langkah mendekati putranya. Dan kini mereka saling berhadapan. Dua pasang bola mata biru yang saling menatap dengan dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...