15

115 7 0
                                    

                "Ci, sumpah ya nggak ada kamu tuh nggak rame! Nggak ada temen shopping nih!" Cindy merajuk, serta merta memeluk Lucita yang saat ini masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Selang infus terpasang di tangan kirinya, dan wajahnya masih tampak pucat. Baju pasien berwarn biru muda juga melekat di badannya.

Lucita tertawa kecil.

"Yaelah, baru ditinggal 2 hari juga!"

"Iya nih, lebay banget!" timpal Listi.

"Tenang kalau aku dah sembuh, kita jabanin seluruh mall di Jakarta! Kita borong semuanya."

"Janji lho ya Ci!"

Lucita tertawa, pandangannya tertumbuk pada Nara yang berdiri diam di depan Evander, Rei dan Tio. Tangan gadis itu memegang sebuah kresek plastik warna hitam. Lucita mendesah pelan. Sejak Rei meminta nomor Nara padanya beberapa hari yang lalu, ia sedikit merasa janggal dengan hatinya. Apalagi saat Lucita bertanya tentang tujuannya meminta nomor Nara tapi Rei hanya membalasnya dengan senyuman.

"Ra, kamu bawa apa?" Lucita menatap Nara tak berkedip.

Nara tersenyum kecil. Lalu mengulurkan kresek plastik itu pada Lucita.

"Oh, ini ada buah. Aku beli di jalan tadi." Jawab Nara.

Lucita mengangguk kecil, lalu matanya mengedik ke arah nakas.

"Taruh aja di situ." Jawabnya acuh tak acuh.

Nara menarik lengannya yang sudah terjulur dengan hati-hati. Ia melirik banyak sekali barang di atas nakas. Mulai dari kue, sampai buah-buahan di dalam wadah yang cantik-cantik. Itu pasti buah tangan dari orang-orang yang menjenguk Lucita. Nara menatap kresek hitamnya diiringi helaan nafasnya, seketika ia merasa kecil, sangat kecil di depan Lucita.

"Biar aku yang kasih." Rei merebut kresek itu.

Nara tak menyahut, ia tampak biasa saja saat Rei merebut kresek itu dan membawanya di atas nakas. Lucita dan Evander menatapnya dengan pandangan aneh. Sedang Listi dan Cindy terdiam, mereka sebenarnya juga merasakan aroma-aroma kejanggalan dengan tingkah Lucita. Sedikit banyak mereka tahu bahwa Lucita tak menyukai Nara, tapi cewek itu tak pernah memperlihatkannya secara langsung seperti hari ini.

"Em...beb, udah sembuh?" Tio yang sejak tadi diam angkat bicara. Ia ingin mengusir kecanggungan yang tiba-tiba saja datang diantara mereka semua.

Mata Lucita mencelos. Ia kesal, siapa yang sudah memberitahu Tio bahwa dia dirawat di rumah sakit.

"Bab...beb...emang gue bebeb lo?!" Hardik Lucita garang.

Tio terbahak.

"Iyalah bentar lagi!"

"Sorry gue ngak mau!"

"Mau dong, gue kan udah ijin sama Rei!" Tio menunjuk Rei yang sekarang duduk di sofa, tengah memainkan ponsel.

Rei mengangkat muka saat namanya disebut Tio.

"Hah?" Lucita menatap Rei tak berkedip. "Maksudnya?"

"Iya, dia bilang dia nggak masalah gitu kalau gue macarin loe, asal nggak gue sakitin aja elo-nya."

Bibir Lucita mengerucut. Tiba-tiba saja hatinya terasa sedih saat Tio mengatakan hal tersebut. Jika Rei tak keberatan dirinya pacaran dengan Tio, berarti cowok itu tak menyukainya.

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang