Lucita tidak bisa menahan perasaan yang ada di dalam hatinya. Sakit! Itulah penjelasannya, melihat seseorang yang disukainya sejak kecil berpelukan dengan hangat dan bahkan tertawa begitu lebar bersama seorang cewek yang bahkan baru dikenal Rei belum lama ini.
Berkali-kali Lucita meremas dadanya, berusaha menghilangkan sesuatu yang sejak tadi mengganjal dan membuat air matanya berderai turun. Ia tak peduli berapa banyak mata di lorong yang menatapnya dengan padangan aneh, ia juga tak peduli sudah berapa manusia yang dituburuknya dan mengumpat 'Ta, nggak punya mata?!"
Lucita tak peduli. Ia hanya ingin segera pergi menjauh dari tempat ini. Kemana? Terserah kata hatinya. Ke pluto kalau perlu juga tak masalah.
Cewek itu terus menunduk sambil sesekali mengusap air matanya, hingga sebuah tubuh bidang menabraknya dan dia hampir saja terjatuh. Untung lengan kokoh itu segera menangkap pundaknya.
"Hati-hati Ci."
Lucita mengangkat muka. Namun sejurus kemudian mundur 3 langkah saat tau bahwa Tio yang tadi hampir membuatnya ambruk. Meskipun Lucita sangat membenci Tio, tapi ia juga tidak ingin cowok itu tahu bahwa saat ini hatinya sedang lemah dan dia sedang menangis.
"Minggir!" bentaknya hendak berjalan menyimpang menjauhi Tio, namun cowok itu kembali menahan tubuhnya.
"Weh, lo kenapa Ci?" Tio menatapnya Lucita dengan pandangan serius. Tak ada tampang cengegesan minta ditampol hari ini. Ia benar-benar khawatir melihat Lucita yang biasanya ceria kini berubah menyedihkan seperti itu.
"Ci lo kenapa?" Tio kembali mengulangi pertanyaannya lantas berjalan mendekati Lucita, tangannya terulur hendak menghapus air mata yang berlinang di pipi cewek itu, namun buru-buru Lucita menepisnya.
"Minggir! Nggak usah sentuh-sentuh gue!" ia mendorong tubuh Tio agar mejauhinya.
"Ci, lo cerita sama gue. Kenapa?" Tio masih belum mau pergi.
Lucita menatap Tio nanar.
"Lo budeg atau apa sih? Kalau gue bilang pergi ya pergi! Susah banget dibilangin." Lucita menendang kaki Tio, lalu berlari meninggalkan cowok itu yang kini sedang meringis menahan sakit.
****
"Gila, gue kepikiran Lucita trus!" kata Tio geram meninju samsak yang tergantung di depannya. "Bisa dibayangin nggak betapa menyedihkannya dia hari ini!"
"Bukannya tiap hari kepikiran terus ya?" tanya Evander acuh tanpa menoleh sedikitpun pada sahabatnya tersebut. Rupanya game playstation di depannya lebih menarik perhatiannya daripada celotehan Tio yang tak penting tesebut.
Tio mendengus, menatap Evander dengan salah satu tangannya tergantung di samsak tersebut.
"Tumben lo kelihatan baik-baik aja. Nggak nyolot seperti biasanya. Love story lo sama Nara udah tamat ya? ngomong-ngomong happy ending atau sad ending?"
Plaaaak!
Sebuah buku melayang indah dan mengenai muka Tio. Cowok itu meringis, memegangi pelipisnya yang berdenyut. Cowok beranting itu memang langganan kali ya kena pukul, semenyebalkan apa sih tampangnya sampai Evander dan Lucita suka sekali main fisik padanya."Waaaah gila lo ya! anarkis banget jadi orang. Gue laporin KPAI baru nyaho lo!" dengus Tio kesal. "Lo sama Lucita dikehidupan lampau apa algojo tukang pukul sih Van? Hobi banget nyiksa orang. Tampang-tampang begini gue itu tulus. Tulus jadi sahabat lo, dan tentu saja bakalan tulus kalau jadi cowoknya Lucita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
RandomPlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...