33

83 3 0
                                    

                Harvey sedang menghadap setumpuk dokumen di depannya saat pintu ruang kerjanya di ketuk dari luar. Pria yang kini memakai kaca mata baca itu mendesis terganggu, dan tak lama kemudian muncul asisten pribadinya dari balik pintu.

"Sudah saya bilang, kalau saya lagi sibuk jangan gang----"

"Maf tuan, Nona Lucita ingin bertemu." Potong pria berkepala plontos itu cepat-cepat menginterupsi karena tak ingin kena semprot terlalu jauh.

Harvey berdehem pelan, tumben gadis itu mencarinya.

"Suruh masuk saja." Harvey menyurutkan badannya, lantas menutup map coklat yang baru saja ia buka.

"Baik tuan." Asisten plontos itu permisi, dan tak lama kemudian muncul Lucita dengan senyum mengembang masuk ke dalam ruang kerja bernuansa coklat tua tersebut.

"Halo om...." lucita tersenyum ramah, melangkah tegap menyusul Harvey di balik meja.

"Halo sayaaang..." Harvey mengangkat badannya, sejurus kemudian ia sudah memeluk Lucita dengan hangat, seperti seorang bapak yang bertemu anaknya. Sebuah pemandangan aneh jika Harvey tak pernah seramah itu pada Rei, namun bisa sehangat itu dengan Lucita.

"Ayo duduk." Harvey megulurkan tangannya ke arah sofa tamu di sudut ruangan, sedangkan dia sendiri juga bergegas menggeser kursi lalu melangkah menyusul Lucita yang sudah lebih dulu menghempaskan bokongnya di sofa berwarna hitam tersebut.

"Mau minum?" harvey basa-basi, ia lantas menjatuhkan tuubhnya di sofa single, bersebrangan dengan lucita.

"Enggak om." Geleng Lucita. " Aku buru-buru."

"I'ts OK!" Harvey manggut-manggut. "Anything problem? Karena tiba-tiba muncul ke rumah dan pengen ketemu om?"

Lucita mengulum senyum, memainkan rambut curly-nya yang sebagian terulur di depan dadanya.

"Bagaimana kabar Rei?" Harvey kembali brtanya. "Semenjak pindah ke apartement, dia tidak pernah pulang lagi." Desahnya.

Luicta seolah baru saja mendapat angin segar saat Harvey lebih dulu membuka percakapan tentang Rei. Entah Harvey sengaja atau memang pria berkulit putih itu sedang ingin membicarakan anaknya.

Ngomong-ngomong tentang Harvey, dia dan Rei adalah sebuah kesatuan yang mirip sebenarnya. Kedua pria itu sama-sama dingin pada orang yang belum mereka kenal, sama-sama bermata biru dan juga berkulit putih. pembawaannya pun terkesan santai, namun jika marah dan tidak menyukai satu hal dia akan lebih mirip seperti singa yang marah. Ya benar kata orang, jika terkadang orang yang tak kamu sukai itu memiliki sifat yang hampir mirip denganmu, dan rupanya kata-kata itu berlaku pada pasangan bapak dan anak tersebut.

"Ayo katakan ada perlu apa Lucita?" Harvey kembali membuka suara. Matanya melirik pada tumpukan map yang baru saja ia sentuh beberapa. Jika bukan Lucita yang datang, mungkin ia tak akan menerima tamu.

"Tentang Rei om." Lucita menunduk. Ai mukanya berubah. Ia sedang mendalami akting sebagai manusia tersakiti rupanya sore ini.

Harvey mengerutkan dahi, ia lantas bersidekap dengan mata terarah pada Lucita. "Kenapa dengan Rei?" rupanya ia terpancing.

Lucita meenyeringai kecil, lalu mengangkat dagu. Sudah sejak kemrin ia ingin mengatakan hal ini pada Harvey. Masa bodoh jika Rei menganggapnya penghianat, masa bodoh jika akhirya Rei membencinya. Yang jelas Lucita lebih memilih Rei membencinya daripada harus bersama Nara. Ia tak akan pernah mengijinkan itu terjadi.

TRIANGLE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang