Suasana tribun sudah begitu ramai. Supporter untuk para pemain basket yang akan berkompetisi begitu riuh. Beberapa ada yang membawa spanduk berrtuliskan pemain yang mereka idolakan, beberapa membawa atribut unik dan hal-hal lain.
Sebelum permainan dimulai, Evander melakukan pemanasan terlebih dulu di lapangan. Berkali-kali ia menoleh kea rah tribun penonton. Ia sudah melihat Mark dan Aulia yang duduk bersisian, juga Cindy yang datang bersama dengan Listi. Tapi ada satu orang yang masih terus dicarinya di deretan bangku penonton, namun batang hidungnya tak juga tampak.
Apakah Nara ingkar janji bahwa ia akan datang?
Tapi tidak mungkin. Nara bukan tipikal cewek seperti itu.
Evander menghela nafas panjang. ia harus berfikir positif. Mungkin Nara terjebak macet atau semacamnya sehingga membuatnya belum datang sampai sekarang. Menghalau gelisah, Evander lantas mendrebel bolanya dan dengan lincah memasukkannya ke dalam ring.
"Van!" suara Tio terdengar jelas dari pinggir lapangan. Pria itu berlari ke arahnya dengan wajah serius.
"Maafin gue Van." Tiba-tiba wajah Tio berubah. Antara menyesal, sedih dan putus asa.
"Kenapa?" tanya Evander tidak mengerti.
Tio mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia serba salah. Apakah benar apa yang akan dikatakannya sekarang?
"Kenapa kuya?! Lo bikin gue penasaran."
Tio menghela nafas.
"Tapi lo janji enggak akan sedih atau semacamnya atau....bahkan bunuh diri!"
"Lo bilang sekarang, atau gue jitak kepala lo?"
"Em....begini....."Tio menatap Evander, lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. "Sebenarnya, tadi pagi gue dititipin ini sama Nara. Dia mint ague buat ngasih ke lo setelah acara selesai. Tapi gue—"
Belum selesai dengan kalimatnya, Evander langsung merebut benda yang ternyata lipatan kertas itu dari Tio dan membukanya dengan cepat. Perasaan cowok itu tiba-tiba tidak enak.
Dear Evander....
Mungkin saat kamu baca surat ini. Kamu sudah menang dan mendapatkan posisi di tim nasional. Selamat Evan! Aku tahu kamu begitu mencintai basket, ketika tahu poster Michael Jordan yang ada di kamar kamu waktu itu.
Sekarang, mungkin aku sudah ada di pesawat menuju Tokyo. Iya.....benar apa yang kamu pikirkan bahwa aku akhirnya menuwujdkan cita-citaku untuk kuliah di sana. Jangan tanyakan kenapa akhirnya aku memilih hal ini dan meninggalkan kalian semua.
Maafkan aku Evan. Semoga kamu selalu bahagia....
Ingatlah, bahagiakan dirimu sendiri. Jangan menyakiti dirimu karena aku.
Nara Danita
Evander meremas kerta tersebut dan membuangnya dengan asal. Wajahnya berubah tegang dan merah. Terlihat ada perasaan sedih dan marah yang bercampur menjadi satu di pikirannya.
"Van....Van....lo enggak kenapa-kenapa kan?" Tio mulai merasa jika apa yang dilakukannya adalah salah.
"Kenapa lo enggak bilang sama gue dari tadi bego?!" ia meraih kaos Tio dan mencengkeramnya. Beberapa orang yang melihat hal itu di kursi penonton tampak terkejut. Apalagi Mark, Aulia dan juga Cindy.
"Gue takut lo nekat dan......sekarang.....lo bener-bener—"
"Terus dimana Nara sekarang?"
"Udah berangkat kali Van. Dia ngasihnya pagi-pagi buta!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE (TAMAT)
CasualePlease! Don't be silent readers. Hanya sedikit yang akan kau tahu tentang aku. Tentang masa putih abu-abuku yang suram tak berwujud. Cinta? Akh, itu hanya sebatas mimpi bagiku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, jika aku memang tak akan pantas mend...